Ushul Fiqh: Talfiq dan Ifta'
A. PENDAHULUAN
Agama
 Islam yang diturunkan oleh Allah swt melalui Rasulullah saw agar 
menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Rasulullah saw
 diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjadi petunjuk bagi
 umat Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat dipahami melalui sunnah 
Rasul. Sunah Rasul dipahami oleh para Sahabat dan para Tabi’in dalam 
persepsi yang berbeda. Maka itu semua menimbulkan berbagai ajaran dalam 
Agama Islam. Kemudian para Imam-imam salaf as-shaleh mencoba 
untuk menjelaskan kembali itu semua dalam pandangan mereka yang intinya 
satu, yaitu ajaran Rasul. Sehingga dari berbagai pandangan para ulama, 
maka lahirlah istilah madzhab.
Dalam
 perkembangannya, timbul permasalahan apakah seseorang boleh untuk 
berpindah madzhab atau menggabungkan antara madzhab yang satu dengan 
yang lainnya yang disebut dengan talfiq. Kemudian dari kaidah-kaidah 
yang telah dirumuskan oleh Imam Madzhab, muncullah 
permasalahan-permasalahan baru. Oleh sebab itu, diperlukan adanya 
fatwa-fatwa atas permasalahan tersebut demi kemaslahatan bersama. Maka, 
dalam makalah ini, kami akan membahas tentang madzhab, talfiq dan segala
 yang berkaitan dengan fatwa (ifta’).
 B. PEMBAHASAN
1. MADZHAB
A. Pengertian Madzhab
Menurut bahasa, madzhab berasal dari kata “dzahaba” yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya pendapat, dan thariqat yang artinya “jalan”. Sedangkan yang dimaksud dengan madzhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu :
a. Madzhab
 adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam 
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada 
Al-Qur’an dan Hadits
b. Madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.
Jadi,
 madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam 
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. 
Selanjutnya Imam madzhab dan madzhab itu berkembang pengertiannya 
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid 
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum 
Islam. 
B. Beramal dengan fatwa seorang Mufti’
Seseorang
 boleh beramal dengan fatwa seorang mufti, apabila mufti tersebut telah 
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, fatwa tersebut sesuai 
dengan yang semestinya dan dapat dijalankan sesuai dengan kondisinya. 
Tidak wajib bagi peminta fatwa untuk beramal dengan fatwa seorang mufti,
 karena ia diperbolehkan untuk meminta fatwa dari mufti yang lain.
C. Mengikuti (fatwa) seorang Mufti’
Seorang
 peminta fatwa tidak terikat dengan fatwa seorang mufti. Apabila peminta
 fatwa tersebut sudah mendapatkan jawaban (fatwa) dari mufti, ia tetap 
diperbolehkan untuk meminta fatwa kembali kepada mufti yang lain dan 
berhak untuk memilih fatwa mana yang akan dilaksanakan. Seorang mufti 
juga tidak diperkenankan untuk mewajibkan peminta fatwa untuk mengikuti 
hasil fatwanya.
2. TALFIQ
A. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lain sebagainya. Adapun “talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul fiqh adalah :
اَلْعَمَلُ فِى الْمَسْأَلَةِ بِحُكْمٍ مُؤَ لَّفٍ مِنْ مَجْمُوْعِ مَذْ هَبَيْنِ اَوْ أَكْثَرَ.
“Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih.
B. Hukum Talfiq
Terdapat
 beberapa perbedaan pendapat mengenai status hukum talfiq. Ada pendapat 
yang membolehkan talfiq dan ada pendapat yang tidak membolehkan talfiq. 
Diantara pendapat itu ialah :
Ø Menurut
 al-Kamal bin al-Humam, yang membolehkan talfiq dalam segala hal, 
walaupun dalam soal ibadah dan dengan maksud mencari keringanan, dengan 
alasan :
1.) Tidak
 ada nas dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang mewajibkan seseorang harus 
terikat dengan satu pendapat atau madzhab seorang ulama tertentu. 
Demikian juga tidak ada nas yang secara tegas melarang seseorang untuk 
berpindah madzhab. Yang ada adalah nas tentang kewajiban orang yang 
tidak mengerti untuk bertanya kepada ulama (adz-dzikr), sesuai dengan 
keumuman ayat :
 “Kami
 tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa 
orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah 
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
2.) Pada
 hakikatnya, talfiq berlaku hanya pada masalah fiqhiyah (hasil ijtidah 
para Imam Mujtahid). Dalam masalah ini berlaku kaidah “Ijtihad tidak 
dapat digugurkan oleh ijtihad lain”, dan penerapannya harus mengikuti 
situasi dan kondisi yang sesuai dengan kemaslahatan.
3.) Mewajibkan
 seseorang untuk terikat pada satu madzhab, akan mempersulit umat. Hal 
ini sejalan dengan prinsip umum pensyariatan hukum islam, yaitu 
kemudahan dan kemaslahatan.
4.) Pendapat
 yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh berpindah mazhab muncul 
dari kalangan ulama khalaf (muta’akhkhirin) setelah mereka dihinggapi 
penyakit fanatik mazhab. Membiarkan hal ini bukan saja menyebabkan umat 
islam terkotak-kotak dan pecah, tetapi juga menyebabkan fiqih menjadi 
beku dan kaku.
5.) Membenarkan
 talfiq bukan saja akan membawa pada kelapangan, tetapi juga akan 
menjadikan fiqih selalu dinamis dan dapat menjawab tantangan zaman. 
Sebab pengkajian komparatif atas fiqih akan tumbuh subur dan dengan 
demikian, fiqih akan selalu hidup dan berkembang.
6.) Membenarkan talfiq, dengan syarat bukan pada satu qadiah, bertentangan dengan realitas.
7.) Kenyataan
 yang terjadi di kalangan Sahabat menunjukkan bahwa orang boleh meminta 
penjelasan hukum kepada sahabat junior, walaupun ada Sahabat yang lebih 
senior. Hal ini sudah merupakan ijma’ para Sahabat.
Ø Menurut
 al-Qaffal, manakala seseorang telah memilih suatu madzhab, maka ia 
harus berpegang teguh pada madzhab yang telah dipilihnya itu. Dengan 
kata lain ia tidak diperbolehkan berpindah, baik secara keseluruhan 
maupun sebagian, ke mazhab lain. Hal ini sama halnya dengan seorang 
mujtahid : manakala sudah memilih salat satu dalil, ia harus tetap 
berpegang pada dalil tersebut, karena dalil yang dipilihnya adalah dalil
 yang dipandangnya rajih, yang secara tidak langsung berarti bahwa dalil lain yang tidak dipilihnya adalah marjuh.
 Sehingga secara rasional hal itu mengharuskan ia mengamalkan dalil yang
 dipandangnya kuat itu. Demikian pula dengan muqallid, apabila telah 
memilih salah satu mazhab, berarti mazhab yang dipilihnya itu 
dipandangnya rajih secara ijmali. Secara rasional ia tentu harus tetap mempertahankan pilihannya itu.
Dalam
 kehidupan modern sekarang ini, masalah talfiq sudah tidak bisa 
dihindari lagi, karena realitas sudah dilaksanakan, bahkan sudah 
melembaga di kalangan masyarakat, sekalipun mereka tidak menyadarinya. 
Keperluan akan hal ini telah dilakukan oleh berbagai negara. Mesir, 
misalnya, telah lama dalam menetapkan berbagai ketentuan hukum, seperti 
mengenai waris dan wasiat, banyak keluar dari Madzhab Hanafi, padahal 
Mesir adalah salah satu negara yang menganut madzhab Abu Hanifah. Mulai 
tahun 1929, pemuka agama di Mesir banyak mengadakan perubahan, baik 
dalam masalah muamalat, maupun jinayat. Sebagai contoh, Undang-undang 
Perkawinan Mesir banyak mengambil dari Madzhab Imam Malik dan Imam Ahmad
 bin Hanbal. Dalam Undang-undang Wasiat No. 71/1936 dan Undang-undang 
Waris No. 77/1937, banyak mengambil dari luar madzhab yang empat, 
seperti Madzhab Syi’ah Imamiyah.
Di
 Indonesia sendiri, kebutuhan akan hal tersebut nampak jelas, seperti 
terasa sewaktu menyusun Undang-undang Perkawinan (UU. No. 1/1974) : 
antara lain mengambil ketentuan di luar madzhab Syafi’i, yakni mengenai 
batasan umur waktu menikah, 18 tahun untuk wanita dan 21 tahun untuk 
laki-laki. Undang-undang tersebut juga tidak mengenai wali mujbir yang dianut madzhab Syafi’i. Demikian pula hukum waris, misalnya warisan dzawil arham,
 bagian cucu dari harta kekayaan kakeknya dalam kasus si ayah meninggal 
lebih dahulu sebelum kakeknya, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan 
bahwa cucu tersebut dijadikan sebagai ahli waris pengganti.
3. IFTA’
1. Pengertian dan Ketentuan Ifta’
Secara etimologi kata iftâ’ (افـتـاء) terambil dari akar kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء” yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa.iftâ’ itu
 pada intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum 
syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Dari sini 
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan. 
2. Mufti
Artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang memberikan fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahid atau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada
 dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam 
Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah 
menyebutkan secara khusus syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.
1) Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
2) Mufti hendaklah seorang yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan, wibawa dan tenang.
3) Mufti hendaklah seorang yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan menghadapi persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya
4) Memiliki ilmu yang cukup
5) Mengenal keadaan dan lingkungan atau kondisi sosiologis masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum, ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah. (1) baligh,
 berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3) memenuhi persyaratan seorang 
mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. 
Berdasarkan persyaratan ini ; seorang mufti tidak harus seorang 
laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.
3. Mustafti’
Mustafti’
 adalah individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta 
fatwa. Sebagaimana seorang pemberi fatwa (mufti) harus terpenuhi padanya
 sejumlah syarat dan adab, maka peminta fatwa (mustafti) juga ada 
beberapa adab yang harus dipenuhi. Di antara adab dimaksud adalah 
sebagai berikut:
1) Mustafti
 harus merupakan orang atau pihak yang tidak mempunyai kemampuan untuk 
menetapkan fatwa sendiri. Bagi orang atau pihak yang masuk klasifikasi 
ini apabila mengalami atau menghadapi suatu permasalahan yang 
membutuhkan jawaban hukum secara syar’i, maka wajib baginya untuk 
menanyakan kepada seseorang atau lembaga yang mempunyai kapasitas dan 
kompetensi untuk mengeluarkan fatwa terhadap masalah tersebut
2) Mustafti
 harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintai 
fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapkan fatwa. Hal ini 
diperlukan untuk menghindari adanya pemberian fatwa yang tidak dilandasi
 oleh dalil-dalil dan argumentasi yang jelas.
3) Mustafti
 tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut
 madzhab tertentu. Cukup baginya untuk menjadikan fatwa yang ada menjadi
 landasan untuk melaksanakan aktifitasnya.
4) Mustafti
 apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau 
lembaga, maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau 
lembaga yang secara luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan 
fatwa.
5) Mustafti
 apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai 
kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang 
mempunyai kompetensi untukberfatwa, maka dirinya terikat dengan fatwa 
yang dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.
6) Jika mustafti mendapati
 permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka terdapat perbedaan 
di antara para ulama. Pertama, ada yang mengatakan harus meminta fatwa 
baru lagi, dengan alasan bahwa boleh jadi pendapat mufti, baik 
perorangan atau lembaga, akan berubah seiring dengan perubahan kondisi 
dan zaman. Sedangkan pendapat kedua menyatakan tidak harus baginya untuk
 menanyakan fatwanya lagi, dengan alasan bahwa fatwa terhadap masalah 
tersebut telah ditetapkan, sehingga cukup baginya untuk merujuk fatwa 
yang telah ada.
7) Mustafti
 sebaiknya datang sendiri secara langsung kepada mufti. Apabila terpaksa
 diwakilkan kepada perantara maka sebaiknya ia langsung mencermati teks 
fatwanya, bukan keterangan perantara tersebut, karena dikhawatirkan 
keterangan dari perantara tersebut berbeda dengan maksud dari fatwa yang
 sebenarnya
8) Mustafti seyogyanya berprasangka baik dan berperilaku baik kepada mufti
9) Mustafti seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil dan argumentasi hukum dalam fatwa yang dikeluarkannya
10) Jika
 mustafti tidak menemukan mufti di daerahnya ataupun di daerah lain, 
sedangkan tidak ada cara lain untuk mengakses pendapat mufti lain dan ia
 tidak mempunyai kemampuan untuk mencari hukum sendiri dalam kitab-kitab
 fiqih, maka bagi orang atau pihak yang seperti ini dihukumi seperti 
orang atau pihak yang belum mendapatkan petunjuk sehingga dalam masalah 
ini ia tidak terkena taklif, dengan artian boleh baginya untuk 
menjalankan aktifitasnya sesuai ketetapan hatinya.
4. Fatwa
Fatwa
 adalah jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang 
ditanyakan. Dalam hal ini, ada dua hal penting yang berlu diperhatikan 
mengenai fatwa, yaitu :
1) Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).
 Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang 
merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang 
pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa tentang 
peristiwa yang belum pernah terjadi. Walaupun begitu, seorang mufti 
tetap disunnahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah
 hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.
2) Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion)
 tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa 
(mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakatluas tidak harus 
mengikuti isi atau hukum yang di berikan kepadanya. Hal ini disebabkan 
bahwa fatwa tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha). Bisa 
saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti lain
 di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian di 
adopsi menjadi putusan pengadilan, maka fatwa tersebut menjadi hukum 
positif / regulasi suatuwilayah tertentu.
5. Berfatwa
Berfatwa
 tidak bisa dilaksanakan oleh sembarang orang, ada syarat-syarat 
tertentu seseorang boleh berfatwa, di mana jika syarat-syarat tersebut 
tidak terpenuhi maka tidak diperkenankan baginya untuk berfatwa. Sebab 
fatwa yang dikeluarkan oleh pihak atau orang yang tidak memenuhi 
syarat-syarat tersebut tidak dapat dijadikan pegangan, karena fatwa 
tersebut dikeluarkan tanpa melalui prosedur dan kriteria yang 
disyaratkan. Mengeluarkan fatwa dengan tanpa mengindahkan aturan yang 
disyaratkan, maka sama saja membuat-buat hukum (tahakkum) yang dilarang oleh agama. Oleh karenanya para salaf as-shaleh
 senantiasa berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Misalnya, al-Imam 
as-Syafi’i ketika ditanya suatu masalah beliau tidak menjawab. Ketika 
ditanya kenapa tidak menjawab, beliau berkata : “ sampai aku yakin 
apakah sebaiknya aku diam (tidak menjawab) atau menjawabnya. Diceritaka 
al-atsram mendengar Imam Ahmad bin Hanbal sering menjawab “tidak tahu” 
ketika ditanya tentang suatu masalah. Al-Haistam bin Jamil melihat Imam 
Malik ditanya tentang 48 permasalahan, beliau hanya menjawab 32 
permasalahan, dan diantaranya dijawab dengan jawaban “tidak tahu”.
Kehati-hatian salaf as-shaleh
 dalam menjawab suatu masalah yang diajukan merupakan cerminan 
penguasaan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam mengeluarkan fatwa, 
karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi orang yang 
mengeluarkan fatwa tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi orang 
atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan yang 
matang adalah neraka.
C. PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Madzhab
 adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
 memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam.
2. Talfiq adalah Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih.
3. Dalam hukum bertalfiq terdapat perbedaan pendapat, diantaranya :
a. Menurut
 al-Kamal bin al-Humam, yang membolehkan talfiq dalam segala hal, 
walaupun dalam soal ibadah dan dengan maksud mencari keringanan,
b. Menurut
 al-Qaffal, manakala seseorang telah memilih suatu madzhab, maka ia 
harus berpegang teguh pada madzhab yang telah dipilihnya itu. Dengan 
kata lain ia tidak diperbolehkan berpindah, baik secara keseluruhan 
maupun sebagian, ke mazhab lain.
4. Ifta’ adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.
5. Mufti adalah orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang memberikan fatwa.
6. Mustafti adalah individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.
7. Fatwa adalah jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,Ma’ruf,K.H.Fatwa dalam Sistem Hukum Isla. Cetakan Pertama. Jakarta: Paramuda Advertising. 2008
Hosen,Ibrahim,Prof. KH. LML.Fiqh Perbandingan. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003
Yanggo, Huzaemah Tahido, Prof. Dr. Hj. MA. Pengantar Perbandingan Mazhab.Cetakan ke-4. Ciputat: Gaung Persada Pers. 2011
Zahrah, Muhammad Abu,Prof.Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum dkk. cetakan ke-14, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011