Ushul Fiqh: Ta’arudh Al-Adillah
Oleh: Abu Bakar
“Apabila dua nash saling bertentangan menurut lahiriyahnya, maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang shahih dari berbagai cara penggabungan dan penyesuaian : Jika hal tersebut tidak mungkin dilakukan, maka wajib dilakukan pengkajian dan ijtihad dalam rangka mentarjihkan salah satu dari kedua nash itu dengan salah satu cara tarjih. Kemudian jika hal ini tidak mungkin dan itu juga tidak mungkin, sedangkan sejarah kedatangan kedua nash itu diketahui, maka nash yang menyusul menashkan nash yang tedahulu; dan jika sejarah kedatangan nash itu tidak diketahui, maka pemberlakuan terhadap kedua nash itu ditangguhkan. Apabila dua qiyas dan dua dalil selain nash bertentangan, dan tidak mungkin mentarjih salah satu dari keduanya, maka istidlal dengan kedua qiyas atau dua dalil ini dikesampingkan”. (Abdul Wahhab Khallaf)
Pendahuluan
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istimbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan objek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta’arud (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadis) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Artinya;
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.
Artinya;
“Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Pengertian Ta’arudh
Secara etimologi (bahasa), kata “al-Ta’arudh” terbentuk dari kata dasar “‘Arada” yang berarti “menghalangi”, “mencegah”, atau “membandingi”. Adapun kata “al-I’tirada” berarti “mencegah” atau “menghalangi”. Asal arti kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang-orang yang melintasi sebuah jalan. Sehingga dalam hal ini, kata “al-I’tirad” diartikan mencegah atau menghalangi. Sehingga dapat disimpulkan kata “al-Ta’arud” berarti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi.
Secara terminologi (istilah), “al-Ta’arud” menurut al-Zarkashi didefinisikan sebagai
تقابل الدليلين على سبيل الممانعة
“Perbandingan dua dalil dengan sifat cara saling mencegah”.
Sedang menurut al-Asnawi:
تقابل الأمرين يمنع كل منهما مقتضى صاحبه
“Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan.”
Wahbah az-Zuhaili, mendefenisikan ta’arud sebagai salah satu dari dua dalil yang menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang dikehendaki dalil lain”. Pada dasarnya seperti ditegaskan Wahbah az-Zuhaili, tidak ada pertentagan dalam kalam Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu adanya anggapan ta’arudh antara dua atau beberapa dalil hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa “Ta’arudu al-Adillah” adalah dua dalil (atau lebih) yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.
Sedang para ahlu-manthiq, lebih sering menggunakan istilah “al-Tanaqud” sebagai ganti “al-Ta’arud”. Mereka mendefinisikan al-Tanaqud dengan:
اختلاف قضيتين بالإيجاب والسلب و الكلية والجزئية بحيث إذا صدقت أحدا هما كدبة الأخرى
“Perbedaan dua premis (pernyataan), misalnya yang satu bersifat ijab dan yang lain bersifat salb, atau yang satu bersifat universal (umum) dan yang lain bersifat spesifik dimana apabila salah satunya benar, maka yang lain pasti salah”.
Abd al-Aziz al-Bukhari dalam kitabnya “Kasyf al-Asrar” menjelaskan: “Sebenarnya, dalam hal ini keduanya bermakna sama. Al-Tanaqud (pertentangan) dalam suatu ucapan (pernyataan) menurut berbagai istilah adalah perbedaan dua ucapan yang satu meniadakan dan yang lain menetapkan. Apabila salah satu ucapan benar, maka ucapan lainnya pasti salah. Inilah esensi dari pertentangan (al-Ta’arudh)”.
Macam-macam Ta’arudh al-Adillah
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafaa disebutkan bahwa ta’arudh (dalil-dalil yang dapat bertentangan) dapat terjadi pada:
a. Pertentangan antara dua dalil qath’i
Yang dimaksud dengan dalil qath’i di sini adalah dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti, seperti al-Qur’an dan hadis-hadis mutawatir (antara ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, antara ayat al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan antara hadis-hadis mutawatir).
Contoh ayat al-Qur’an:
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meniggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menaggung dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Nash ini berdasarkan keumumannya menghendaki bahwasanya setiap orang yang meninggal dunia dan meningalkan isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak.
Dengan firman Allah SWT :
Artinya :
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu iddah mereka sampai melahirkan kandungannya..”
Nash ini sesuai dengan keumumannya menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang hamil, iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal mati suaminya, atau tidak.
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, merupakan suatu kasus dimana nash yang pertama menghendaki bahwa iddahnya berakhir dengan masa tunggu empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash yang kedua menghendaki iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Jadi dua nash tersebut saling bertentangan pada kasus ini.
Contoh yang kedua ialah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 180
•
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.
Dengan surat an-Nisa’: 11
Artinya:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (Q.S 4/An Nisa’ : 11)
Ayat yang pertama mewajibkan terhadap orang yang mewariskan, apabila ia mendekati kematiannya untuk berwasiat harta peninggalannya untuk kedua orang tuanya dan karib kerabatnya dengan cara yang makruf. Ayat yang kedua mewajibkan kepada masing-masing dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat suatu hak yang dari harta peninggalan sesuai dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewariskan. Kedua ayat tersebut saling bertentangan secara lahiriyah, dan memungkinkan untuk mengadakan penyesuaian antara keduanya, dengan cara bahwa yang dimaksud pada surah al-Baqarah adalah dua orang tua dan karib kerabat terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang sebagaimana perbedaan agama.
b. Pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti (seperti al-Qur’an dan hadis mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti hadis ahad). Seperti hadis:
لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب
“Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah”.
Dengan hadis:
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barang siapa shalat berjama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”
Maksud hadis pertama adalah meniadakannya keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya shalat (hadis kedua).
c. Pertentangan antara dua dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara hadis-hadis ahad. Seperti hadis:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى حين انكشفت الشمس مثل صلاتنا يركع ويسجد
“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku’ dan sujud sebagaimana shalat kita, pada saat terjadi gerhana matahari”
Dengan hadis:
ان لنبي صلى الله عليه وسلم جهرفي صلاة الكسوف بقرأة وصلى أربع ركعات في ركعتين أربع سجدات
“Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud”.
Hadis pertama menunjukkan bahwa cara melakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku’ dan satu kali berdiri (i’tidal) sebagaimana shalat fardhu. Hadis kedua menunjukkan bahwa cara melaksanakan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (i’tidal) dalam setiap rakaat.
Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadis kedua, berdasarkan alasan bahwa hadis tersebut didukung oleh banyak sanad, termasuk riwayat Bukhari Muslim dalam kitab shahihnya. Sebagian ulama lain mengkompromikan kedua hadith ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali-kali, maka boleh melaksanakan shalat gerhana dengan salah satu cara yang telah tersebut di atas.
Syarat-Syarat Ta’arudh al-Adillah
Selanjutnya, Dr. Muhammad Wafaa memberikan batasan-batasan tentang terjadinya al-Ta’arud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan terswebut sama. Karena mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadis ahad, karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadis mutawatir harus lebih diutamakan, karena dari segi dhalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nash dan dhahir, karena nash penunjukannya bersifat qath’i dan dhahir bersifat dzanni. Karenanya nash harus lebih diutamakan daripada dhahir.
Metode menghilangkan Ta’arudh al-Adillah
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ta’arudh al-adillah ini sejak masa sahabat, sahabat yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai dalil baik dari al-Quran maupun dari hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar dalil yang tampaknya saling bertentangan dan menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.
Dalam menghilangkan ta’arudh al-adillah para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut ini;
Menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah jalan yang ditempuh jika terjadi ta’arud secara global adalah :
1. Nasikh wa mansukh. Meneliti mana ayat yang lebih dahulu turun atau hadis yang lebih dahulu diucapkan, dan apabila diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang dating keudian.
2. Tarjih. Meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil yang bertentangan itu dengan berbagai cara tarjih, jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu; ini dijelaskan secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh.
3. al-Jam’u wa tarjih; membuat kompromi antara dua dalil itu ternyata sama-sama kuat jika tidak dapat ditarjih; dan
4. Tasaqut ad-Dalalain; tidak memakai kedua dalil itu jika tidak ada peluang kompromi; dalam hal ini seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil yang lebih rendah bobotnya. Misalnya, jika dua dalil yang bertentangan itu terdiri dari ayat Al-Qur’an, maka setelah tidak dapat dikompromikan, hendaklah dirujuk kepada sunnah Rasulullah SAW, dan begitu seterusnya.
Menurut kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah seperti yang dijelaskan wahbah az-Zuhaili, jika terjadi ta’rud antara dua dalil, maka lanhkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. al-Jam’u wa tarjih; membuat kompromi antara kedua dalil selama ada peluang untuk itu, karena mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada hanya memfungsikan satu dalil saja. Contohnya adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang menyatakan ;
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari…” (QS. 2:234)
Dan lagi Allah SWT berfirman,
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah samapai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya allah menjadikan baginya kemnudahan dalam urusannya.” (QS. 65;4).
Ayat pertama bersifat umum, yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak hamil wajib beridda selama empat bulan sepuluh hari. Ayat kedua juga bermakna umum. Yaitu setiap wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup wajib beriddan sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, sepintas terbaaca dari kedua ayat tersebut saling bertentangan. Namun pertentangan itu, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, ahli usul fiqh dari irak, dapat dikompromikan sehingga keduanya berfungsi. Keduanya dikompromikan dengan menyatakan bahwa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yang disebut oleh kedua ayat di atas, yaitu sampai melahirkan atau 4 bulan 10 hari. Artinya jika perempuan itu melahirkan sebelum samapai 4 bulan 10 hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu 4 bulan 10 hari, dan jika sampai 4 bulan 10 hari, perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya samapai ia melahirklan.
2. Mentarjih, jika tidak dapat dikompromikan.
3. Nasikh wa mansukh. Meneliti mana diantara kedua dalil itu yang lebih dahulu turun atau di tetapkan, jika tidak ada peluang untuk mentarjih. Jika diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang kemudian.
4. Tasaaqut ad-Dalalain. Jika tidak mungkin diketahui mana yang terdahulu, maka kedua dalil itu tidak dapat digunakan. Dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil lain yang lebih rendah bobotnya.
Adapun tarjih menurut bahasa berarti “membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan”. Menurut istilah, seperti dikemukakan Imam al-Baidawi, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan yang akan di tarjih adalah zanni. Berbeda dengan kalangan Hanafiyah, ada yang berpendapat bahwa dua dalil yang bertentangan yang di tarjih itu dapat saja sama-sama qat’i, atau sama-sama zanni. Oleh sebab itu mereka mendefenisikan tarjih sebagai upaya untuk mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain. Defenisi ini tidak dibatasi dengan dua dalil zanni saja.
Jika ta’arudh terjadi antara dua adalil syar’i yang bukan nash, sebagaimana ta’arudh antara dua qiyas, maka hal ini terkadang merupakan suatu ta’arudh yang hakiki, sebab boleh jadi salah satu dari dua qiyas tersebut salah. Jika mungkin mentarjihkan salah satu dari dua qiyas terhadap yang lain, maka tarjih itu diamalkan. Dan diantara cara pentarjihan salah satu dari dua qiyas atas lain ialah bahwa illat salah satunya merupakan manshus (dinyatakan dalam nash) sedangkan illat qiyas yang lain di istimbathkan dari nash, atau illat salah satunya diistimbathkan melalui cara isyarat nash, sedangkan illat qiyas yang lain diistimbathkan melalui cara kontekstual.
Penutup
Perlu dicatat bahwasanya tidak akan ada pertentangan yang hakiki antara dua ayat atau dua hadis yang sahih, antara ayat dan hadis yang sahih. Apabila tampak ada pertentanagan antara dua nash dari nash-nash ini, maka sebenarnya ia adalah pertentangan yang lahiriyah saja, sesuai dengan yang nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan yang hakiki. Karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga yang menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut pada waktu yang sama.
Bibliografi
Abdurrahman, M., Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000)
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Ash-Shiddieqy,M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Al-Bukhari, ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawi juz 3, Bairut: Dar al-Kutub al-’Arabi, 1974.
Djajuli, H.A., I Nurol Aen, Ushul al-Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2000
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Dr., Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang: Dina Utama, tt
Al-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 1, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1960
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Nail al-Authar juz 8, Kairo, tt.
Team Pustaka, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Wafaa, Muhammad, Dr., Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S., Bangil, Al-Izzah, 2001.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha, Taj al-’Arusi min Jawahiri al-Qamusi, Kairo: Mathba’ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H.
“Apabila dua nash saling bertentangan menurut lahiriyahnya, maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang shahih dari berbagai cara penggabungan dan penyesuaian : Jika hal tersebut tidak mungkin dilakukan, maka wajib dilakukan pengkajian dan ijtihad dalam rangka mentarjihkan salah satu dari kedua nash itu dengan salah satu cara tarjih. Kemudian jika hal ini tidak mungkin dan itu juga tidak mungkin, sedangkan sejarah kedatangan kedua nash itu diketahui, maka nash yang menyusul menashkan nash yang tedahulu; dan jika sejarah kedatangan nash itu tidak diketahui, maka pemberlakuan terhadap kedua nash itu ditangguhkan. Apabila dua qiyas dan dua dalil selain nash bertentangan, dan tidak mungkin mentarjih salah satu dari keduanya, maka istidlal dengan kedua qiyas atau dua dalil ini dikesampingkan”. (Abdul Wahhab Khallaf)
Pendahuluan
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istimbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan objek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta’arud (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadis) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Artinya;
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.
Artinya;
“Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Pengertian Ta’arudh
Secara etimologi (bahasa), kata “al-Ta’arudh” terbentuk dari kata dasar “‘Arada” yang berarti “menghalangi”, “mencegah”, atau “membandingi”. Adapun kata “al-I’tirada” berarti “mencegah” atau “menghalangi”. Asal arti kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang-orang yang melintasi sebuah jalan. Sehingga dalam hal ini, kata “al-I’tirad” diartikan mencegah atau menghalangi. Sehingga dapat disimpulkan kata “al-Ta’arud” berarti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi.
Secara terminologi (istilah), “al-Ta’arud” menurut al-Zarkashi didefinisikan sebagai
تقابل الدليلين على سبيل الممانعة
“Perbandingan dua dalil dengan sifat cara saling mencegah”.
Sedang menurut al-Asnawi:
تقابل الأمرين يمنع كل منهما مقتضى صاحبه
“Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan.”
Wahbah az-Zuhaili, mendefenisikan ta’arud sebagai salah satu dari dua dalil yang menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang dikehendaki dalil lain”. Pada dasarnya seperti ditegaskan Wahbah az-Zuhaili, tidak ada pertentagan dalam kalam Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu adanya anggapan ta’arudh antara dua atau beberapa dalil hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa “Ta’arudu al-Adillah” adalah dua dalil (atau lebih) yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.
Sedang para ahlu-manthiq, lebih sering menggunakan istilah “al-Tanaqud” sebagai ganti “al-Ta’arud”. Mereka mendefinisikan al-Tanaqud dengan:
اختلاف قضيتين بالإيجاب والسلب و الكلية والجزئية بحيث إذا صدقت أحدا هما كدبة الأخرى
“Perbedaan dua premis (pernyataan), misalnya yang satu bersifat ijab dan yang lain bersifat salb, atau yang satu bersifat universal (umum) dan yang lain bersifat spesifik dimana apabila salah satunya benar, maka yang lain pasti salah”.
Abd al-Aziz al-Bukhari dalam kitabnya “Kasyf al-Asrar” menjelaskan: “Sebenarnya, dalam hal ini keduanya bermakna sama. Al-Tanaqud (pertentangan) dalam suatu ucapan (pernyataan) menurut berbagai istilah adalah perbedaan dua ucapan yang satu meniadakan dan yang lain menetapkan. Apabila salah satu ucapan benar, maka ucapan lainnya pasti salah. Inilah esensi dari pertentangan (al-Ta’arudh)”.
Macam-macam Ta’arudh al-Adillah
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafaa disebutkan bahwa ta’arudh (dalil-dalil yang dapat bertentangan) dapat terjadi pada:
a. Pertentangan antara dua dalil qath’i
Yang dimaksud dengan dalil qath’i di sini adalah dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti, seperti al-Qur’an dan hadis-hadis mutawatir (antara ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, antara ayat al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan antara hadis-hadis mutawatir).
Contoh ayat al-Qur’an:
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meniggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menaggung dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Nash ini berdasarkan keumumannya menghendaki bahwasanya setiap orang yang meninggal dunia dan meningalkan isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak.
Dengan firman Allah SWT :
Artinya :
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu iddah mereka sampai melahirkan kandungannya..”
Nash ini sesuai dengan keumumannya menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang hamil, iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal mati suaminya, atau tidak.
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, merupakan suatu kasus dimana nash yang pertama menghendaki bahwa iddahnya berakhir dengan masa tunggu empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash yang kedua menghendaki iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Jadi dua nash tersebut saling bertentangan pada kasus ini.
Contoh yang kedua ialah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 180
•
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.
Dengan surat an-Nisa’: 11
Artinya:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (Q.S 4/An Nisa’ : 11)
Ayat yang pertama mewajibkan terhadap orang yang mewariskan, apabila ia mendekati kematiannya untuk berwasiat harta peninggalannya untuk kedua orang tuanya dan karib kerabatnya dengan cara yang makruf. Ayat yang kedua mewajibkan kepada masing-masing dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat suatu hak yang dari harta peninggalan sesuai dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewariskan. Kedua ayat tersebut saling bertentangan secara lahiriyah, dan memungkinkan untuk mengadakan penyesuaian antara keduanya, dengan cara bahwa yang dimaksud pada surah al-Baqarah adalah dua orang tua dan karib kerabat terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang sebagaimana perbedaan agama.
b. Pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti (seperti al-Qur’an dan hadis mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti hadis ahad). Seperti hadis:
لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب
“Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah”.
Dengan hadis:
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barang siapa shalat berjama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”
Maksud hadis pertama adalah meniadakannya keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya shalat (hadis kedua).
c. Pertentangan antara dua dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara hadis-hadis ahad. Seperti hadis:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى حين انكشفت الشمس مثل صلاتنا يركع ويسجد
“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku’ dan sujud sebagaimana shalat kita, pada saat terjadi gerhana matahari”
Dengan hadis:
ان لنبي صلى الله عليه وسلم جهرفي صلاة الكسوف بقرأة وصلى أربع ركعات في ركعتين أربع سجدات
“Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud”.
Hadis pertama menunjukkan bahwa cara melakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku’ dan satu kali berdiri (i’tidal) sebagaimana shalat fardhu. Hadis kedua menunjukkan bahwa cara melaksanakan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (i’tidal) dalam setiap rakaat.
Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadis kedua, berdasarkan alasan bahwa hadis tersebut didukung oleh banyak sanad, termasuk riwayat Bukhari Muslim dalam kitab shahihnya. Sebagian ulama lain mengkompromikan kedua hadith ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali-kali, maka boleh melaksanakan shalat gerhana dengan salah satu cara yang telah tersebut di atas.
Syarat-Syarat Ta’arudh al-Adillah
Selanjutnya, Dr. Muhammad Wafaa memberikan batasan-batasan tentang terjadinya al-Ta’arud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan terswebut sama. Karena mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadis ahad, karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadis mutawatir harus lebih diutamakan, karena dari segi dhalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nash dan dhahir, karena nash penunjukannya bersifat qath’i dan dhahir bersifat dzanni. Karenanya nash harus lebih diutamakan daripada dhahir.
Metode menghilangkan Ta’arudh al-Adillah
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ta’arudh al-adillah ini sejak masa sahabat, sahabat yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai dalil baik dari al-Quran maupun dari hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar dalil yang tampaknya saling bertentangan dan menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.
Dalam menghilangkan ta’arudh al-adillah para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut ini;
Menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah jalan yang ditempuh jika terjadi ta’arud secara global adalah :
1. Nasikh wa mansukh. Meneliti mana ayat yang lebih dahulu turun atau hadis yang lebih dahulu diucapkan, dan apabila diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang dating keudian.
2. Tarjih. Meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil yang bertentangan itu dengan berbagai cara tarjih, jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu; ini dijelaskan secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh.
3. al-Jam’u wa tarjih; membuat kompromi antara dua dalil itu ternyata sama-sama kuat jika tidak dapat ditarjih; dan
4. Tasaqut ad-Dalalain; tidak memakai kedua dalil itu jika tidak ada peluang kompromi; dalam hal ini seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil yang lebih rendah bobotnya. Misalnya, jika dua dalil yang bertentangan itu terdiri dari ayat Al-Qur’an, maka setelah tidak dapat dikompromikan, hendaklah dirujuk kepada sunnah Rasulullah SAW, dan begitu seterusnya.
Menurut kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah seperti yang dijelaskan wahbah az-Zuhaili, jika terjadi ta’rud antara dua dalil, maka lanhkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. al-Jam’u wa tarjih; membuat kompromi antara kedua dalil selama ada peluang untuk itu, karena mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada hanya memfungsikan satu dalil saja. Contohnya adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang menyatakan ;
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari…” (QS. 2:234)
Dan lagi Allah SWT berfirman,
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah samapai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya allah menjadikan baginya kemnudahan dalam urusannya.” (QS. 65;4).
Ayat pertama bersifat umum, yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak hamil wajib beridda selama empat bulan sepuluh hari. Ayat kedua juga bermakna umum. Yaitu setiap wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup wajib beriddan sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, sepintas terbaaca dari kedua ayat tersebut saling bertentangan. Namun pertentangan itu, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, ahli usul fiqh dari irak, dapat dikompromikan sehingga keduanya berfungsi. Keduanya dikompromikan dengan menyatakan bahwa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yang disebut oleh kedua ayat di atas, yaitu sampai melahirkan atau 4 bulan 10 hari. Artinya jika perempuan itu melahirkan sebelum samapai 4 bulan 10 hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu 4 bulan 10 hari, dan jika sampai 4 bulan 10 hari, perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya samapai ia melahirklan.
2. Mentarjih, jika tidak dapat dikompromikan.
3. Nasikh wa mansukh. Meneliti mana diantara kedua dalil itu yang lebih dahulu turun atau di tetapkan, jika tidak ada peluang untuk mentarjih. Jika diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang kemudian.
4. Tasaaqut ad-Dalalain. Jika tidak mungkin diketahui mana yang terdahulu, maka kedua dalil itu tidak dapat digunakan. Dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil lain yang lebih rendah bobotnya.
Adapun tarjih menurut bahasa berarti “membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan”. Menurut istilah, seperti dikemukakan Imam al-Baidawi, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan yang akan di tarjih adalah zanni. Berbeda dengan kalangan Hanafiyah, ada yang berpendapat bahwa dua dalil yang bertentangan yang di tarjih itu dapat saja sama-sama qat’i, atau sama-sama zanni. Oleh sebab itu mereka mendefenisikan tarjih sebagai upaya untuk mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain. Defenisi ini tidak dibatasi dengan dua dalil zanni saja.
Jika ta’arudh terjadi antara dua adalil syar’i yang bukan nash, sebagaimana ta’arudh antara dua qiyas, maka hal ini terkadang merupakan suatu ta’arudh yang hakiki, sebab boleh jadi salah satu dari dua qiyas tersebut salah. Jika mungkin mentarjihkan salah satu dari dua qiyas terhadap yang lain, maka tarjih itu diamalkan. Dan diantara cara pentarjihan salah satu dari dua qiyas atas lain ialah bahwa illat salah satunya merupakan manshus (dinyatakan dalam nash) sedangkan illat qiyas yang lain di istimbathkan dari nash, atau illat salah satunya diistimbathkan melalui cara isyarat nash, sedangkan illat qiyas yang lain diistimbathkan melalui cara kontekstual.
Penutup
Perlu dicatat bahwasanya tidak akan ada pertentangan yang hakiki antara dua ayat atau dua hadis yang sahih, antara ayat dan hadis yang sahih. Apabila tampak ada pertentanagan antara dua nash dari nash-nash ini, maka sebenarnya ia adalah pertentangan yang lahiriyah saja, sesuai dengan yang nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan yang hakiki. Karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga yang menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut pada waktu yang sama.
Bibliografi
Abdurrahman, M., Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000)
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Ash-Shiddieqy,M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Al-Bukhari, ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawi juz 3, Bairut: Dar al-Kutub al-’Arabi, 1974.
Djajuli, H.A., I Nurol Aen, Ushul al-Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2000
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Dr., Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang: Dina Utama, tt
Al-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 1, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1960
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Nail al-Authar juz 8, Kairo, tt.
Team Pustaka, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Wafaa, Muhammad, Dr., Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S., Bangil, Al-Izzah, 2001.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha, Taj al-’Arusi min Jawahiri al-Qamusi, Kairo: Mathba’ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H.