-->

Membuat Penerbitan Buku secara Mandiri

Salah satu pertanyaan yang sering dilayangkan kepada saya adalah soal bagaimana membuat self-publishing atau independent publishing. Self-publihsing adalah kegiatan penerbitan karya-karya sendiri. Sementara, independent publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independen, yang menerbitkan karya-karya sendiri maupun karya orang lain. Tak jarang, sebuah penerbitan umum yang berkembang semula diawali dari self/independent publishing.
Seperti saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, salah satu tren perbukuan ke depan adalah maraknya pendirian penerbitan mandiri ini. Mengapa? Ya, karena sekarang membuat penerbitan sendiri sudah sedemikian mudahnya. Selain itu, banyak manfaat yang bisa diambil, selain juga potensi bisnisnya yang lumayan. Saya pun mendapati bahwa minat para penulis untuk membuat penerbitan mandiri ternyata cukup lumayan. Klien-klien saya sendiri juga banyak yang berminat dan akhirnya mendirikan penerbitannya sendiri.
Nah, bagi Anda yang ingin mencoba membuat self-publishing atau independent publishing, saya coba memadatkan segala tetek-bengek pembuatan penerbitan mandiri ini ke dalam delapan langkah berikut.
Pertama, siapkan naskah yang siap terbit dan memenuhi kriteria atau anjuran-anjuran sebagaimana saya tulis dalam buku Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller (Gradien, 2005). Naskah siap terbit artinya naskah yang sudah tersunting secara rapi dan lengkap (lihat artikel “Bagaimana Melengkapi dan Mengamankan Naskah Buku?”). Naskah yang sudah rapi dan lengkap akan memudahkan proses penerbitan buku. Sementara, naskah yang tidak lengkap dan rapi bisa sangat merepotkan.
Untuk Anda yang ingin benar-benar mendapatkan manfaat finansial dari ‘petualangan penerbitan’ ini, saya anjurkan supaya benar-benar memilih naskah buku yang berpotensi untuk laku keras. Atau, akan jauh lebih baik lagi bila naskah itu berpotensi menjadi buku best-seller. Apa ciri-cirinya? Saya sudah bahas lengkap dalam artikel-artikel atau buku saya sebelumnya. Kecuali Anda memiliki misi khusus dengan penerbitan naskah tertentu, maka soal laku atau tidak laku memang tidak terlalu memusingkan.
Kedua, siapkan modal yang cukup untuk mencetak dan mempromosikan buku. Perkiraan saya, jika kita bisa efesien sekali dalam proses penerbitan ini, maka dengan modal sekitar Rp15-30 juta kita sudah bisa menerbitkan buku fast book atau buku ukuran 14 x 21 cm dengan rata-rata ketebalan antara 150-200 halaman dan oplah mencapai 3.000 eksemplar. Di sejumlah kota seperti di Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya, kadang dengan modal di bawah Rp10 juta pun bisa jalan dengan jumlah cetak yang lebih sedikit.
Nah, sebagian orang tidak bermasalah dengan modal. Klien-klien saya, terutama yang datang dari lembaga konsultan, perusahaan, atau pembicara publik, biasanya tidak menemui kesulitan soal modal penerbitan. Sementara, bagi sebagian lagi amat bermasalah alias sulit mendapatkan modal. Saya lihat, tak sedikit penulis yang memanfaatkan royalti bukunya untuk memodali dan mengawali penerbitan mandiri mereka. Saya sendiri termasuk yang menempuh jalan ini. Sebagian lain ada yang patungan dengan rekan-rekannya. Prinsipnya, asal ada naskah yang bagus potensi pasarnya, maka modal pasti tidak sulit didapat.
Ketiga, merumuskan nama penerbitan yang menjual. Bagi saya sendiri, ini merupakan satu tahap yang penting dan sangat menarik. Bagaimana tidak? Membuat nama penerbitan layaknya menciptakan sebuah merek produk. Kita menciptakan identitas yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah institusi. Sementara mereknya sendiri bisa saja berkembang dan memiliki ekuitas yang tinggi. Bolehlah kita berandai-andai suatu saat penerbitan yang kita lahirkan ini akan besar dan mapan sebagaimana penerbitan-penerbitan lainnya.
Maka dari itu, sekalipun kita bebas memilih nama penerbitan, saya anjurkan supaya Anda memilih atau menciptakan nama penerbitan yang memiliki makna tertentu, sekaligus punya nilai jual. Ketika saya melahirkan Bornrich Publishing, maka bayangan saya adalah sebuah penerbitan buku yang sifatnya menggerakkan motivasi dan etos ekonomi, dan kemudian berujung pada cita-cita kesejahteraan masyarakat. Ketika saya melahirkan Fivestar Publishing, maka bayangan saya adalah sebuah penerbitan yang bertujuan untuk menggerakkan masyarakat supaya bangkit dan mengejar prestasi terbaik.
Khusus untuk lembaga konsultansi atau yayasan, maka inisial atau singkatan dari institusi tersebut juga bagus untuk dipakai sebagai nama penerbitan. Selain membantu branding lembaga tersebut, koneksitas antara penerbitan dengan lembaga tadi juga terasa lebihs erasi. Semisal, Jagadnita adalah sebuah lembaga konsultasi psikologi yang kemudian mendirikan Jagadnita Publishing. Atau Quantum Asia Corpora, sebuah lembaga konsultansi yang kemudian mendirikan QAC Publishing.
Keempat, menyiapkan desain kaver dan tata letak (lay out). Untuk kedua pekerjaan ini, kita bisa melakukannya sendiri bila mampu, atau dengan menggunakan tenaga desain profesional. Kita bisa memanfaatkan tenaga-tenaga desainer freelance atau mereka yang biasanya bekerja di perusahaan penerbitan. Selain itu, kita juga bisa mendapatkan desainer kaver atau penata letak dengan cara mem-posting pengumuman ke milis-milis perbukuan.
Untuk tata letak buku, biayanya bervariasi tergantung pada ketebalan buku serta ornamen-ornamen di dalamnya. Jika naskah buku kita banyak menggunakan grafik, foto, atau detail ornamen yang rumit, maka biaya tata letaknya bisa agak mahal (standar Rp1.500.000-3.000.000). Sementara, tata letak buku yang hanya berisi teks tidak memerlukan biaya mahal karena relatif lebih mudah dikerjakan (standar Rp750.000-1.500.000).
Soal biaya desain kaver bervariasi, tergantung pada siapa yang mengerjakan dan jenis desain yang dikehendaki. Di Yogyakarta, kita bisa mendapatkan desainer kaver standar dengan fee berkisar antara Rp400.000-800.000. Adapun di Jakarta, fee untuk desain kaver standar berkisar antara Rp600.000-1.200.000. Untuk desain-desain tertentu, biayanya bisa lebih mahal. Saya dengar, seorang desainer kaver buku yang cukup punya nama menetapkan fee sebesar Rp10 juta.
Kelima, urus ISBN dan membuat barcode. Setiap judul buku perlu ‘identitas’ yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan nomor ISBN. Jika sudah mendapat nomor ISBN, maka pekerjaan berikutnya adalah membuat barcode buku. Perpustakaan Nasional, tempat kita mendaftarkan ISBN buku kita, juga melayani pembuatan barcode. Tapi, kita bisa buat sendiri barcode dengan menggunakan program Corel Draw, asal sudah mendapatkan nomor ISBN.
Cara mendapatkan ISBN mudah sekali. Kita cukup menyiapkan satu surat permohonan ISBN (ditujukan kepada Kepala Perpustakaan Nasional u.p. bagian ISBN) dengan dilengkapi fotokopi halaman judul buku, halaman hak cipta, daftar isi, dan pendahuluan. Berkas bisa dikirim via pos, faksimili, atau diantar langsung ke Gedung Perpustakaan Nasional RI (lantai 2) di Jalan Salemba Raya 28-A, Jakarta (Telp: 021-3101411 psw 437). Bila kita baru pertama kali menerbitkan buku, maka kita akan diminta mengisi formulir keanggotaan ISBN. Kita akan mendapatkan kartu keanggotaan ISBN dan penerbitan kita tercatat di Perpustakaan Nasional. Pengalaman saya, mengurus ISBN berlangsung cepat, tak kurang dari 15 menit dan hanya membutuhkan biaya administrasi Rp25.000 (tanpa film barcode) untuk setiap judul buku.
Keenam, memilih percetakan yang tepat. Ada banyak jenis percetakan, tetapi pastikan untuk hanya memilih percetakan yang sudah berpengalaman dalam mencetak buku. Jangan pilih sembarang percetakan, terlebih percetakan yang hanya sekali-sekali mencetak buku. Jangan pula tergoda dengan percetakan yang asal murah. Terpenting adalah kualitas cetak dengan harga yang wajar. Ingat, produk buku punya bobot lain dibanding materi-materi cetak lainnya. Kalau kualitas cetaknya buruk, lupakanlah soal kredibilitas, kepercayaan, dan soal brand penerbitan maupun penulisnya.
Jika kita seorang pemula dalam penerbitan buku, usahakan mendapat pelayanan dari staf marketing percetakan tersebut. Pengalaman saya dan klien-klien saya, hampir setiap percetakan yang baik pasti menyediakan staf marketing yang siap melayani kliennya. Berurusan dengan percetakan seperti ini, kita bisa tinggal menyerahkan materi cetak, sementara mereka yang akan mengurus detailnya. Dan untuk amannya, pastikan pula kita bisa bersinergi dengan bagian percetakan dan desainer kaver maupun penata letak isi buku.
Ketujuh, menentukan harga jual buku. Setelah mengetahui biaya cetak dan komponen-komponen biaya lainnya (desain kaver, tata letak, editing, promosi), maka kita sudah bisa memperkirakan harga jual buku nantinya. Bagaiamana rumusannya? Mudah: seluruh biaya produksi dibagi dengan jumlah oplah buku, lalu dikalikan lima, hasilnya adalah harga jual buku kita. Contoh, biaya produksi Rp24.000.000 dibagi jumlah cetak 3.000 eksemplar (ketemu harga produksi @ Rp8.000) dikalikan lima = Rp40.000. Jadi, harga jual buku kita di toko nantinya Rp40.000.
Formula harga di atas adalah yang paling umum digunakan dan membuat harga buku tetap terjangkau. Yang saya amati, ada pula yang menggunakan bilangan pengali antara 6-7 kali untuk menetapkan harga jual. Akibatnya, harga buku menjadi jauh lebih mahal. Di satu sisi ini menguntungkan penerbit, di sisi lain ini berisiko juga, karena harga yang terlalu tinggi juga mempengaruhi minat beli komsumen. Oleh karena itu, pada kesempatan pertama menerbitkan buku, jangan pernah tergoda untuk melambungkan harga buku. Bila ingin mengunakan angka pengali lebih dari lima, pertimbangkan betul-betul daya serap pasar nantinya. Bila perlu, mintalah masukan dari konsultan penerbitan, distributor, atau toko buku kerena merekalah yang paham soal itu.
Kedelapan, mengadakan perjanjian distribusi dengan distributor. Pada saat naskah buku naik cetak, kita sudah harus mendapatkan distributor buku. Sebab, bila kita sudah mendapatkan distributor buku saat proses pencetakan berlangsung, maka selesai cetak buku itu bisa langsung dikirim ke gudang distributor. Distributor buku adalah salah satu pilar utama bisnis penerbitan, selain toko buku dan penerbit itu sendiri. Sebagai penerbit, bisa saja kita berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan buku kita (konsinyasi atau beli putus). Tapi, untuk menghemat tenaga, menjangkau toko-toko secara nasional, dan mempermudah persoalan administrasi, lebih baik kita menggunakan jasa distributor.
Banyak distributor buku dengan kekuatan maupun kekurangannya masing-masing. Hampir semuanya menggunakan sistem konsinyasi (beli kredit atau pembayaran sesuai dengan jumlah buku yang laku). Ada yang lingkupnya nasional serta menjangkau hampir seluruh toko buku, ada pula yang lingkupnya lokal dan hanya menjangkau toko-toko buku tertentu. Diskon yang diminta oleh distributor (yang nantinya dibagi dengan toko-toko buku) berkisar antara 45-60 persen dari harga jual buku. Soal diskon, kita bisa bernegosiasi dengan pihak distributor dan kemudian kerjasama itu dibuat dalam format kontrak kerjasama pendistribusian.
Nantinya, sebulan sekali kita akan menerima laporan penjualan buku kita. Sementara, jatuh tempo pembayaran bervariasi antara distributor yang satu dengan yang lain. Ada distributor yang sudah bisa membayar dalam setengah bulan, namun ada pula yang baru membayar dua bulan setelah laporan penjualan kita terima. Semua ketentuan itu termaktub dalam kontrak kerjasama.
Pada intinya, delapan langkah itulah yang kita butuhkan untuk mendirikan sebuah penerbitan mandiri. Kedelapan langkah tersebut sudah mencakup persiapan penerbitan hingga peredaran buku ke pasaran. Sebab, begitu buku kita sudah sampai di tangan distributor, maka biasanya seminggu kemudian buku tersebut sudah beredar di toko-toko buku. Sebagai penerbit, kita sudah menyelesaikan satu rangkaian proses produksi atau penerbitan buku.
Dan, begitu buku produksi penerbitan mandiri kita beredar di toko-toko, maka sejak itulah merek penerbitan kita resmi beredar di tengah-tengah khalayak. Tugas kita selanjutnya sebagai penerbit adalah membuat gema promosi dengan berbagai aktivitas supaya khalayak tertarik dan kemudian membelinya.
Tapi, saya sering mendapat pertanyaan begini, “Apakah membuat penerbitan mandiri itu harus disertai dengan pendirian badan usaha semacam PT atau setidaknya CV? Bagiamana soal pajak dan sebagainya?” Jawaban saya standar saja, tidak selalu. Apabila penerbitan ini formatnya self-publishing atau independent publishing, terlebih bila masih coba-coba menemukan format, mengapa harus di-PT-kan? Langkah itu akan menambah beban biaya lagi, sementara ‘petualangan penerbitan’ belum tentu menguntungkan.
Nah, apabila nantinya penerbitan yang kita bangun itu menguntungkan, bisa memproduksi buku lebih banyak lagi, bisa mempekerjakan beberapa orang, manajemen sudah dirapikan, urusan pajak sudah dipersiapkan dan ditata dengan lebih baik, silakan bentuk badan usahanya. Dunia penerbitan kita banyak diwarnai oleh langkah-langkah semacam ini. Hampir semua penerbit kecil atau independen pada awalnya berusaha memperkuat bisnisnya dulu. Setelah mampu memperkuat basis bisnisnya dengan terus mengembangkan diri, barulah kemudian membakukan penerbitannya dalam sebuah badan hukum dan kemudian memproklamirkan diri menjadi penerbitan umum. Jadi, tunggu apa lagi? Selamat mendirikan penerbitan mandiri.
Sumber: http://lastepisode.multiply.com/journal/item/38

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel