Makalah Sistem Peradilan Agama di Indonesia
I.PENDAHULUAN
Peradilan agama adalah peradilan yang khusus mengadili perkara-perkara perdata dimana para pihaknya beragama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Perkara-perkara yang diputus oleh peradilan agama antara lain perceraian, perwalian, pewarisan, wakaf, dan sebagainya. Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (Pasal 4 UUPA).
Pembinaan teknis peradilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UUPA). Susunan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris. Untuk pengadilan agama ditambah dengan Juru Sita (Pasal 9 UUPA).
II.PEMBAHASAN
1.Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 (pasal 1 butir 1 dan 2).
Dalam operasionalnya, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, dimana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama).
2. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
a). Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota kabupaten, dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.
b). Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989, kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama di fokuskan pada bidang:
Perkawinan
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
Wakaf dan sedekah
Untuk kekuasaan dan kewenangan, Pengadilan Tinggi Agama dapat kita lihat di dalam pasal 6 butir 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa: Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding. Sedangkan mengenai tugas dan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama yaitu mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama di daerah hukumnya baik pada tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan Tinggi Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta.
Semua kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut dapat kita lihat didalam pasal 51 dan 52 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 1989.
c). Susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri. Yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita, sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan undang-undang untuk menjadi pimpinan Pengadilan Agama diharuskan mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Agama. Sama halnya pimpinan Pengadilan Agama, pimpinan Pengadilan Tinggi Agama juga terdiri dari seorang Ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya, maka untuk menduduki jabatan ketua harus memenuhi persyaratan.
Untuk menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama seseorang harus mempunyai pengalaman setidaknya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama.
Hakim Anggota
Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama adalah sama. Perbedannya misalnya syarat-syarat untuk menjadi hakim agama harus beragama Islam sedangkan hakim Pengadilan Negeri tidak harus beragama Islam. Demikian juga dengan syarat pendidikan yaitu sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Sedangkan untuk persyaratan yang lain sama seperti yang terdapat didalam pasal 14 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 2004. Sedangkan persyaratan untuk menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama dengan Pengadilan Tinggi adalah sama, kecuali untuk pendidikan yang diisyaratkan sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
Persyaratan yang dimaksud dapat kita lihat di dalam pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 2004. Sedangkan ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan hakim Pengadilan Tinggi Agama tidak berbeda dengan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan Umum.
Panitera
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.
Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.
Sekretaris
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.
Juru Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang itu haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita. Di sini letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
3. Alur Pengadilan Agama dan Sengketa Perkawinan Perceraian
a). Alur Pengadilan Agama
Pimpinan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua (Pasal 10 UUPA). Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara perdata di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah (Pasal 49 UUPA).
Jika terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dulu oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pasal 50 UUPA).
Pengadilan tinggi agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama dalam tingkat banding, dan mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan agama di daerah hukumnya (Pasal 51 UUPA). Hukum acara yang berlaku dalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA (Pasal 54 UUPA).
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA). Penetapan dan putusan peradilan agama hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum. Pemeriksaan sengketa perkawinan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang terjadi karena talak suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud gugat cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak istri melalui gugatan.
b). Sengketa Perkawinan Perceraian
Tahapan-tahapan cerai talak di pengadilan agama menurut Pasal 66 UUPA adalah sebagai berikut :
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya (disebut Pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. Jika termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. Jika pemohon dan termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon dan termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Permohonan tersebut diperiksa dalam siding tertutup oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 68 UUPA).
Pengadilan menetapkan mengabulkan permohonan cerai jika Majelis Hakim berkesimpulan bahwa kedua belah pihak (suami istri) tidak dapat didamaikan lagi dan alasan perceraian telah cukup (Pasal 70 ayat (1) UUPA). Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh termohon (istri) terhadap penetapan tersebut adalah mengajukan banding (Pasal 70 ayat (2) UUPA). Jika tidak ada banding dari pihak termohon (istri) atau penetapan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pengadilan akan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak (Pasal 70 ayat (3) UUPA). Ikrar talak dilakukan oleh pemohon (suami) atau wakilnya yang telah diberi kuasa khusus berdasarkan akta otentik, dan dihadiri/disaksikan oleh pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat (4) UUPA). Jika termohon (istri) tidak hadir pada ikrar talak tersebut, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat 5).
Jika dalam waktu 6 (enam) bulan suami tidak datang untuk mengucapkan ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut, maka penetapan atas dikabulkannya permohonan cerai menjadi gugur, dan permohonan perceraian tidak dapat diajukan lagi dengan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) UUPA). Perkawinan menjadi putus melalui penetapan terhitung sejak diucapkannya ikrar talak dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat (2) UUPA).
4. Tahapan-Tahapan Cerai Gugat Menurut UUPA
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali jika penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami) (Pasal 73 ayat 1 UUPA).
Jika penggugat berkediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (2). Jika keduanya berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3).
Jika gugatan perceraian adalah karena salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk dapat memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74).
Jika alasan perceraian adalah karena syiqaq (perselisihan tajam dan terus menerus antara suami dan istri, maka putusan perceraian didapatkan dengan terlebih dahulu mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri (Pasal 76 ayat (1).
Gugatan perceraian gugur jika suami atau istri meninggal sebelum ada putusan pengadilan (Pasal 79). Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 80 ayat (1) dan (2). Putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat hukumnya sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (1) dan (2).
Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali jika salah satu pihak berkediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Jika kedua pihak berkediaman di luar negeri, maka pada sidang pertama penggugat harus menghadap secara pribadi. Pada saat tersebut hakim juga harus berusaha mendamaikan kedua pihak, dan selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan (Pasal 82).
Jika perdamaian tercapai, maka tidak dapat diajukan lagi gugatan perceraian yang baru dengan alasan yang ada dan telah diketahui penggugat sebelum perdamaian tercapai (Pasal 83). Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1).
Jika pihak ketiga menuntut, maka pengadilan agama menunda lebih dulu perkara harta bersama sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (2). Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon, dan biaya perkara penetapan atau putusan pengadilan yang bukan penetapan atau putusan akhir diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir (Pasal 89 ayat (1) dan (2). Biaya-biaya tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk biaya itu; biaya para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan, biaya untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh pengadilan dalam perkara, biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan (Pasal 90 ayat (1).
5. Tugas dan Wewenang Pejabat Peradilan Agama
a). Hakim
Hak hakim adalah apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiabn sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter (ps. 75).
Mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim, setelah keterangan mereka sebagai saksi didengar dalam sidang gugatan perceraian dengan alasan syiqaq (Pasal 76 ayat (2).
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77).
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri (ps. 78).
Apabila permohonan atau gugatan perceraian diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah (ps. 87 ayat 1). Baik termohon maupun tergugat diberi kesempatan untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama ( Pasal 87 ayat (2). Jika sumpah yang dimaksud tersebut dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan cara lain, sedangkan jika sumpah yang dimaksud dilakukan oleh istri, maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.
Sedangkan kewajiban hakim adalah sebagai berikut:
a). Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kehakiman (ps. 11 ayat 1).
b). Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri yang dilakukan oleh Mentri Agama tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ps. 12 ayat 2).
c). Pembinaan teknis peradilan yang dilakukan oleh MA dan pembinaan dan organisasi, administrasi, dan keuangan, Pengadilan yang dilakukan Mentri Agama tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ps. 5 ayat 3).
Kecuali ditentukan lain oleh UU, Hakim tidak boleh merangkap menjadi pelaksana putusan pengadilan, wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya, pengusaha (ps. 17 ayat 1), penasehat hukum (ps. 17 ayat 2). Pengawasan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan terhadap pelaksanaan tugas hakim tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam pemeriksaan dan dan memutus perkara (ps. 53 ayat 4).
b). Penggugat
Hak penggugat adalah Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undnag menentukan lain (ps. 61); gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (ps. 73 ayat 1); Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77); Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami-istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (ps. 86 ayat 1).
Sedangkan kewajiban penggugat adalah dalam sidang perdamaian tersebut, suami-istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (ps. 82 ayat (2); Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada siding perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi (ps. 82 ayat (3); Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon (ps. 89 ayat (1).
c). Tergugat
Hak tergugat adalah atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undnag menentukan lain (ps. 61); Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77); Pihak termphon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama (ps. 87 ayat 2).
Sedangkan kewajiban tegugat adalah dalam sidang perdamaian tersebut suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (ps. 82 ayat 2); Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada siding perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi (ps. 82 ayat 3).
d.) Panitera
Panitera berkewajiban mencatat segala hal yang terjadi dalam sidang ikrar talak (Pasal 71 ayat (1) UUPA); Mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan (penetapan) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap selambat-lambatnya tiga puluh hari, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman Penggugat dan Tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan (Pasal 84 ayat (1) UUPA); Jika perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai putusan tersebut yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan (Pasal 84 ayat (2) UUPA). Jika perkawinan dilangsungkan diluar negeri, satu helai putusan tersebut disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia (Pasal 84 ayat (3) UUPA); Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya tujuh hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak (Pasal 84 ayat (4) UUPA).
Peradilan agama adalah peradilan yang khusus mengadili perkara-perkara perdata dimana para pihaknya beragama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Perkara-perkara yang diputus oleh peradilan agama antara lain perceraian, perwalian, pewarisan, wakaf, dan sebagainya. Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (Pasal 4 UUPA).
Pembinaan teknis peradilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UUPA). Susunan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris. Untuk pengadilan agama ditambah dengan Juru Sita (Pasal 9 UUPA).
II.PEMBAHASAN
1.Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 (pasal 1 butir 1 dan 2).
Dalam operasionalnya, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding, dimana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara administratif, peradilan agama berada di bawah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama).
2. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
a). Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota kabupaten, dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan.
b). Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989, kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama di fokuskan pada bidang:
Perkawinan
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
Wakaf dan sedekah
Untuk kekuasaan dan kewenangan, Pengadilan Tinggi Agama dapat kita lihat di dalam pasal 6 butir 2 undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa: Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding. Sedangkan mengenai tugas dan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama yaitu mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama di daerah hukumnya baik pada tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan Tinggi Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta.
Semua kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut dapat kita lihat didalam pasal 51 dan 52 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 1989.
c). Susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri. Yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita, sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan undang-undang untuk menjadi pimpinan Pengadilan Agama diharuskan mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Agama. Sama halnya pimpinan Pengadilan Agama, pimpinan Pengadilan Tinggi Agama juga terdiri dari seorang Ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya, maka untuk menduduki jabatan ketua harus memenuhi persyaratan.
Untuk menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama seseorang harus mempunyai pengalaman setidaknya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama.
Hakim Anggota
Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama adalah sama. Perbedannya misalnya syarat-syarat untuk menjadi hakim agama harus beragama Islam sedangkan hakim Pengadilan Negeri tidak harus beragama Islam. Demikian juga dengan syarat pendidikan yaitu sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Sedangkan untuk persyaratan yang lain sama seperti yang terdapat didalam pasal 14 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 2004. Sedangkan persyaratan untuk menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama dengan Pengadilan Tinggi adalah sama, kecuali untuk pendidikan yang diisyaratkan sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
Persyaratan yang dimaksud dapat kita lihat di dalam pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 2004. Sedangkan ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dengan hakim Pengadilan Tinggi Agama tidak berbeda dengan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan Umum.
Panitera
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam.
Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.
Sekretaris
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.
Juru Sita
Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang itu haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita. Di sini letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
3. Alur Pengadilan Agama dan Sengketa Perkawinan Perceraian
a). Alur Pengadilan Agama
Pimpinan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua (Pasal 10 UUPA). Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara perdata di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah (Pasal 49 UUPA).
Jika terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dulu oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pasal 50 UUPA).
Pengadilan tinggi agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama dalam tingkat banding, dan mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan agama di daerah hukumnya (Pasal 51 UUPA). Hukum acara yang berlaku dalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA (Pasal 54 UUPA).
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA). Penetapan dan putusan peradilan agama hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum. Pemeriksaan sengketa perkawinan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang terjadi karena talak suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud gugat cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak istri melalui gugatan.
b). Sengketa Perkawinan Perceraian
Tahapan-tahapan cerai talak di pengadilan agama menurut Pasal 66 UUPA adalah sebagai berikut :
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya (disebut Pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. Jika termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. Jika pemohon dan termohon tinggal diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon dan termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Permohonan tersebut diperiksa dalam siding tertutup oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 68 UUPA).
Pengadilan menetapkan mengabulkan permohonan cerai jika Majelis Hakim berkesimpulan bahwa kedua belah pihak (suami istri) tidak dapat didamaikan lagi dan alasan perceraian telah cukup (Pasal 70 ayat (1) UUPA). Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh termohon (istri) terhadap penetapan tersebut adalah mengajukan banding (Pasal 70 ayat (2) UUPA). Jika tidak ada banding dari pihak termohon (istri) atau penetapan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pengadilan akan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak (Pasal 70 ayat (3) UUPA). Ikrar talak dilakukan oleh pemohon (suami) atau wakilnya yang telah diberi kuasa khusus berdasarkan akta otentik, dan dihadiri/disaksikan oleh pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat (4) UUPA). Jika termohon (istri) tidak hadir pada ikrar talak tersebut, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat 5).
Jika dalam waktu 6 (enam) bulan suami tidak datang untuk mengucapkan ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut, maka penetapan atas dikabulkannya permohonan cerai menjadi gugur, dan permohonan perceraian tidak dapat diajukan lagi dengan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) UUPA). Perkawinan menjadi putus melalui penetapan terhitung sejak diucapkannya ikrar talak dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat (2) UUPA).
4. Tahapan-Tahapan Cerai Gugat Menurut UUPA
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali jika penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami) (Pasal 73 ayat 1 UUPA).
Jika penggugat berkediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (2). Jika keduanya berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3).
Jika gugatan perceraian adalah karena salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk dapat memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74).
Jika alasan perceraian adalah karena syiqaq (perselisihan tajam dan terus menerus antara suami dan istri, maka putusan perceraian didapatkan dengan terlebih dahulu mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri (Pasal 76 ayat (1).
Gugatan perceraian gugur jika suami atau istri meninggal sebelum ada putusan pengadilan (Pasal 79). Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 80 ayat (1) dan (2). Putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat hukumnya sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (1) dan (2).
Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali jika salah satu pihak berkediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Jika kedua pihak berkediaman di luar negeri, maka pada sidang pertama penggugat harus menghadap secara pribadi. Pada saat tersebut hakim juga harus berusaha mendamaikan kedua pihak, dan selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan (Pasal 82).
Jika perdamaian tercapai, maka tidak dapat diajukan lagi gugatan perceraian yang baru dengan alasan yang ada dan telah diketahui penggugat sebelum perdamaian tercapai (Pasal 83). Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1).
Jika pihak ketiga menuntut, maka pengadilan agama menunda lebih dulu perkara harta bersama sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (2). Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon, dan biaya perkara penetapan atau putusan pengadilan yang bukan penetapan atau putusan akhir diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir (Pasal 89 ayat (1) dan (2). Biaya-biaya tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk biaya itu; biaya para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan, biaya untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh pengadilan dalam perkara, biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan (Pasal 90 ayat (1).
5. Tugas dan Wewenang Pejabat Peradilan Agama
a). Hakim
Hak hakim adalah apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiabn sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter (ps. 75).
Mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim, setelah keterangan mereka sebagai saksi didengar dalam sidang gugatan perceraian dengan alasan syiqaq (Pasal 76 ayat (2).
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77).
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri (ps. 78).
Apabila permohonan atau gugatan perceraian diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah (ps. 87 ayat 1). Baik termohon maupun tergugat diberi kesempatan untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama ( Pasal 87 ayat (2). Jika sumpah yang dimaksud tersebut dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan cara lain, sedangkan jika sumpah yang dimaksud dilakukan oleh istri, maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.
Sedangkan kewajiban hakim adalah sebagai berikut:
a). Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kehakiman (ps. 11 ayat 1).
b). Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri yang dilakukan oleh Mentri Agama tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ps. 12 ayat 2).
c). Pembinaan teknis peradilan yang dilakukan oleh MA dan pembinaan dan organisasi, administrasi, dan keuangan, Pengadilan yang dilakukan Mentri Agama tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ps. 5 ayat 3).
Kecuali ditentukan lain oleh UU, Hakim tidak boleh merangkap menjadi pelaksana putusan pengadilan, wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya, pengusaha (ps. 17 ayat 1), penasehat hukum (ps. 17 ayat 2). Pengawasan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan terhadap pelaksanaan tugas hakim tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam pemeriksaan dan dan memutus perkara (ps. 53 ayat 4).
b). Penggugat
Hak penggugat adalah Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undnag menentukan lain (ps. 61); gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (ps. 73 ayat 1); Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77); Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami-istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (ps. 86 ayat 1).
Sedangkan kewajiban penggugat adalah dalam sidang perdamaian tersebut, suami-istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (ps. 82 ayat (2); Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada siding perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi (ps. 82 ayat (3); Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon (ps. 89 ayat (1).
c). Tergugat
Hak tergugat adalah atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undnag menentukan lain (ps. 61); Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah (ps. 77); Pihak termphon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama (ps. 87 ayat 2).
Sedangkan kewajiban tegugat adalah dalam sidang perdamaian tersebut suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu (ps. 82 ayat 2); Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada siding perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi (ps. 82 ayat 3).
d.) Panitera
Panitera berkewajiban mencatat segala hal yang terjadi dalam sidang ikrar talak (Pasal 71 ayat (1) UUPA); Mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan (penetapan) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap selambat-lambatnya tiga puluh hari, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman Penggugat dan Tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan (Pasal 84 ayat (1) UUPA); Jika perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai putusan tersebut yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan (Pasal 84 ayat (2) UUPA). Jika perkawinan dilangsungkan diluar negeri, satu helai putusan tersebut disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia (Pasal 84 ayat (3) UUPA); Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya tujuh hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak (Pasal 84 ayat (4) UUPA).