-->

Menyelamatkan Jawa

MASYARAKAT Jawa,  menurut Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa, berada dalam tanda kutip. Mereka, dengan demikian, berada di antara ada dan tiada. Dalam ungkapan lain, manusia Jawa sesungguhnya bisa dianggap berada dalam deja vu, dalam sesuatu yang seakan-akan pernah ada, pernah ditilik dengan jiwa yang penuh seluruh.
Mengapa Jawa harus berada dalam situasi yang mengenaskan seperti itu? Pertama, hampir semua hal yang berkait dengan kejawaan pada masa posmodern ini terkubur oleh berbagai produk dunia terkini. Dolanan anak-anak lenyap, bahasa Jawa kian tidak digunakan, rumah-rumah joglo atau limasan makin hilang, subasita hampir punah, dan apa pun yang berkait dengan masa lalu dianggap kuno.

Tentu tidak semua hal yang berkait dengan kejawaan terkubur. Ritual pengantin Jawa, misalnya, justru kian hidup. Keagungan yang terpancar dalam berbagai tata urutan ritual sungguh-sungguh sangat  terjaga.  Karena itu jangan heran jika pada saat ini kita masih bisa melihat  orang Jawa melakukan gethok dina (penentuan hari baik) berdasar primbon, srah-srahan (penyerahan seperangkat perlengkapan sarana untuk melancarkan pelaksanaan acara sampai hajat berakhir), peningsetan (tukar cincin),  dan asok tukon (penyerahan dana untuk membantu meringankan keuangan keluarga putri). Bukan hanya itu. Ritual pengantin juga menjaga Jawa dari kehilangan terhadap  sedhahan (membuat sampai membagi undangan), kumbakarnan (pertemuan pembentukan panitia hajatan mantu).  Ini memberi bukti betapa Jawa sangat menghargai kesalehan sosial.

Mungkin kita telah lupa pada istilah pasang tratag dan tarub yang bermakna bakal ada hajatan di sebuah kawasan. Juga  tidak sedikit yang lupa apa makna kembar mayang.  Ungkapan ini merupakan lambang kebahagiaan dan keselamatan.  Jika pawiwahan telah selesai, kembar mayang dilabuh atau dibuang di perempatan jalan, sungai, atau laut dengan maksud agar pengantin selalu ingat asal muasal hidup, yaitu dari orang tua sebagai perantara Allah. 

Adapun jika pengantin melakukan midodareni, sesungguhnya mereka  telah siap melepas masa lajang. Midodareni berasal dari kata “widodareni” (bidadari), lalu menjadi “midodareni” yang berarti membuat keadaan calon pengantin seperti bidadari. Dalam dunia pewayangan, kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan seperti Dewi Kamaratih dan Dewa Kamajaya.  Ritual ini menyelamatkan Jawa dari keacakadutan penampilan. Ritual ini mendukung anjuran Jawa lain: ajining dhiri ana ing kendhaling lati, ajining dhiri ana ing busana. Manusia “sempurna”, manusia insan kamil, manusia utama, sangat dibentuk dan diharapkan dalam ritual ini.

Jawa juga kian tampak sebagai “budaya mulia” saat  tergelar peristiwa ijab qobul, yakni  saat sepasang calon pengantin bersumpah di hadapan naib yang disaksikan wali, pinisepuh dan orang tua kedua belah pihak serta beberapa tamu undangan. Saat akad nikah, ibu dari kedua pihak, tidak memakai subang atau giwang guna memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa menikahkan atau ngentasake anak. Hal-hal yang berkait dengan pemuliaan kepada komitmen muncul dalam panggih. Dalam acara itu, misalnya ada kacar-kucur yang dimaknai sebagai persiapan keuangan untuk melangsungkan kehidupan. Yang tidak kalah penting adalah sungkeman. Sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta mohon doa restu. Ini menunjukkan betapa manusia Jawa harus senantiasa hidup dalam suasana saling menghormati.

Apa yang  bisa dipetik dari berbagai lambang dan simbol yang tergelar dalam ritual pengantin Jawa? Pertama, ritual pengantin Jawa sesungguhnya menyelamatkan pralambang dan simbol Jawa agar tidak terkubur dalam sesuatu yang serbalugas, praktis, dan tanpa rahasia atau misteri. Kedua, ritual Jawa juga menyelamatkan Jawa dari kehancuran sejarah pencarian kehidupan. Ketiga, ritual pengantin Jawa, bisa dibilang sebagai pintu masuk ke kebudayaan Jawa sekaligus sebagai benteng terakhir yang melindungi Jawa dari kepunahan.

Sumber: suaramerdeka.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel