-->

STUDI ANALISIS TERHADAP TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN KARYA SAYYID QUTHB

WARNING!!! DILARANG MENJIPLAK ATAU MELAKUKAN TINDAK PLAGIASI TANPA MENCANTUMKAN REFERENSI LISPEDIA. HAK CIPTA PENULIS LISMANTO DAN HAK CIPTA PENERBIT LISPEDIA

STUDI ANALISIS TERHADAP TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN KARYA SAYYID QUTHB

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Ulumul Qur’an II
Dosen Pengampu: Ibu Noor Rosyidah



















Ditulis Oleh
LISMANTO
(092211017)





FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011




I.    PENDAHULUAN
Asy Syahid Sayyid Quthb lahir pada tahun 1906 di Musyah, kota Asyut, Mesir. Ia telah bergelar hafizh sebelum berumur 10 tahun, sehingga orangtuanya memindahkannya ke Halwan, Kairo, dan masuk Tajhiziah Darul-‘Ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul ‘Ulum atau Universitas Kairo dan mendapat gelar sarjana muda pada tahun 1933.
Ayahnya meninggal dunia ketika ia sedang kuliah, dan ibunya pun menyusul meninggal dunia setelah kepergian ayahnya (1941). Sejak dari lulus kuliahnya hingga tahun 1951, karya tulisnya menampakkan nilai sastra yang begitu tinggi yang bercondong pada Islam. Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagai pengawas sekolah di Departemen Pendidikan, ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan selama dua tahun.
Keberangkatannya ke Amerika justru memberi saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat islami yang sebenarnya, terutama seteleah ia melihat bangsa Amerika berpesta pora atas meninggalnya Hasan al-Banna pada awal tahun 1949. Hasil studi dan pengalamannya selama di Amerika Serikat itu meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problem-problem social kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Sayyid Quthb kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut pada tahun 1951, ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan pemimpin dakwah. Selama tahun 1953, ia sering memberi ceramah di Suriah dan Yordania tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat.
Juli 1954, ia menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tetapi baru dua bulan susdah ditutup Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdul Nasser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1945. sekita Mei 1955, Sayyid Quthb termasuk salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh Presiden Nasser dengan tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Ia juga pernah dijatuhi hukuman lima belas tahun kerja berat di penjara Mesir pada tahun 1964, dan bebas atas permintaan Presiden Irak Abdul Salam Arif. Selanjutnya ia ditangkap kembali bersama tiga saudaranya yaitu Muhammad Quthb, Hamidah, dan Aminah. Pada hari Senin 29 Agustus 1966, ia dan dua orang temannya meninggal di tali tiang gantungan.
Kitab Fi Zhilalil Qur’an merupakan karya monumental Sayyid Quthb yang diselesaikan di dalam penjara, setelah sebelumnya menulis karya besar tentang al-adaalah al-ijtimaa’iyah fil-islam. Sewaktu di dalam tahanan, ia menulis karya terakhirnya, yaitu Ma’aalim fith-Thariq yang selesai pada tahun 1964. dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi total bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga pada struktur Negara. Selama periode inilah, logika konsepsi awal Negara Islamnya Syyid Quthb mengemuka. Buku ini pula yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol ingin menumbangkan rezim Nasser.

II.    PEMBAHASAN
1.    Bentuk Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sudah disepakati bersama sebelumnya dalam kuliah Ulumul Qur’an saya yang diampu Ibu Noor Rosyidah bahwa bentuk tafsir mengacu pada sumber yang diambil dalam penafsiran, yaitu bil ra’yi dan bil ma’tsur. Berdasarkan studi analisis terhadap kitab Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 yang memuat surat Al Fatihah dan dan Al Baqarah, dan mempelajari keseluruhan kitab Fi Zhilalil Qur’an dari jilid 1 hingga jilid 13, maka dapat saya simpulkan bahwa kitab Fi Zhilalil Qur’an termasuk dalam bentuk tafsir bil ra’yi. Alasannya adalah bahwa kitab ini tidak menukil atau menyandarkan diri pada kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya, tetapi Sayyid Quthb yang memang berlatar belakang sastrawan dan seniman muslim dengan hafalan Al-Qur’an yang kuat, menuliskan tafsir dengan akal atau pendapat sendiri.
Sayyid Quthb menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan kaidah bahasa (lughawi), ushul, konteks sosial kemasyarakatan yang pada waktu itu ia hidup di Mesir. Hal yang sangat meyakinkan bahwa kitab Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir bil ra’yi adalah bahwa Sayyid Quthb samasekali tidak memakai referensi kitab lain dalam menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi di setiap menafsirkan ayat, ia menggunakan pendapatnya secara langsung yang kemudian dituangkan dalam tulisannya. Contohnya dalam surat Ibrahim ayat 13 dan 14:
    •                •             
Berikut penafsiran yang ditulis Sayyid Quthb tentang ayat di atas:
    “Sikap manusia yang mereka hadapi adalah sama, pengalamannya sama, keyakinannya sama, ancamannya sama, dan yang dijanjikan untuk mereka pun sama, yaitu yang dijanjikan kepada rombongan yang terhormat itu. Dan akibat yang dinantikan juga sama, yaitu akibat yang dinantikan oleh orang-orang mukmin di ujung perjalanan mereka, sedangkan mereka menghadapi kesewenang-wenangan, teror dan ancaman.”
    Dari kalimat di atas, Sayyid Quthb menggunakan pendapatnya sendiri dalam menafsirkan ayat di atas, demikian juga penafsiran-penafsiran lain terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ia samasekali tidak menukil dari pendapat ulama lain. Alasan tersebut yang saya jadikan hujjah bahwa bentuk tafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah tafsir bil ra’yi, yaitu tafsir yang bersumber pada akal atau pendapat sendiri tanpa menukilkan pada kitab lain. Berbeda dengan tafsir bil ma’tsur yang menukilkan pada kitab atau referensi lain dan menuangkannya secara utuh tanpa melibatkan pendapat pribadi.
2. Metode Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Metode tafsir merupakan suatu cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ada beberapa metode, yaitu tahlili (analisis), ijmali (global), muqaran (komparasi) dan maudhu’i (tematik). Dari studi analisis terhadap kitab Fi Zhilalil Qur’an, dapat saya simpulkan bahwa Fi Zhilalil Qur’an menggunakan metode tafsir maudhu’i. Alasannya adalah bahwa metode yang ditempuh oleh Sayyid Quthb untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang suatu permasalahan atau tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membahas tema tersebut. Kemudian ayat-ayat itu dikaji secara komprehensif dari berbagai aspek kajiannya.
Kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan adalah maudhu’i pada daftar isi, sebelum jauh mendalami isi tafsir. Di dalam daftar isi, Sayyid Quthb menghimpun permasalahan secara tematik kemudian ia tafsirkan ayat-ayat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Apabila kita kaji lebih jauh, akan membuktikan semakin kuat bahwa Fi Zhilalil Qur’an menggunakan metode maudhu’i. Coba kita lihat seksama dalam tema: Seruan Umum Kepada Umat Manusia, kitab ini menghimpun beberapa ayat untuk membahas tema tersebut, yaitu dengan surat al-Baqarah: 21-22, al-Anbiya’: 30, dan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas. Atau masalah dengan tema: Golongan Munafik, yang menghimpun surat al-Baqarah 8-16, 11-12, 13, 14, 15,16, 17-18, 19-20, untuk membahas tema yang sama, yaitu Golongan Munafik. Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah tafsir maudhu’i.
3.    Corak Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Mengkaji masalah corak, maka sudah kita sepakati bersama bahwa corak berhubungan dengan substansi atau isi tafsir, yakni meliputi tafsir fiqhi (membahas masalah fiqh), tafsir falsafi (menggunakan pendekatan filsafat termasuk ilmu kalam), tafsir ilmiy (membahas ilmu pengetahuan umum), dan tafsir ijtima’I (masalah sosial kemasyarakatan).
Dari membaca biografi dan latar belakang Sayyid Quthb, kita bisa pastikan bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an membahas masalah sosial kemasyarakatan, sehingga Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir yang bercorak ijtima’i. Namun hal itu tidak cukup membuktikan apakah ini tafsir ijtima’I atau tidak. Perlu penelusuran yang cukup mendetail lagi, yaitu melihat substansi apa yang dibahas dalam kitab tafsir ini.
Setelah menganalisis bahwa yang ditulis Sayyid Quthb memang memuat persoalan sosial kemasyarakatan dan kritiknya terhadap kehidupan politik, maka bisa memperkuat landasan bahwa rafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah tafsir ijtima’i. sebagai contoh adalah dalam Fi Zhilalil Qur’an membahas secara tematik tentang Thalut, Kapabilitas, dan Profesionalitas Pemimpin, dan Kisahnya Khatimah. Atau membahas masalah riba, zakat, tenggang rasa, jual-beli, infak, hukum wasiat, puasa, talak, dan masih banyak lagi yang menyoroti masalah dari aspek sosial, bukan pada fiqh, ilmu pengetahuan atau filsafat. Selain itu, jika ditinjau dari latar belakang Sayyid Quthb dalam memahami Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an diturunkan pada kaum jahiliyah sehingga dapat menata akhlaknya, membenahi akidahnya, menyembuhkan penyakit sosial politik. Sehingga akan semakin bisa menjadi hujjah bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an bercorak ijtima’i.
4.    Kritik Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Dari segi pengetahuan tentang Al-Qur’an, Sayyid Quthb sudah tidak diragukan lagi karena dari umur 10 tahun ia sudah bisa menghafal Al-Qur’an. Perpaduan yang luar biasa antara sastra yang dibawa oleh Quthb untuk menafsirkan Al-Qur’an, sehingga kita bisa melihat karya Fi Zhilalil Qur’an jika kita baca tafsir ini memiliki gaya sastra, berbeda dengan karya-karya lain yang terkesan kaku dan tidak enak dibaca. Sehingga ada yang mengatakan ini merupakan tafsir bayani mengingat Quthb sangat memperhatikan kaidah kepenulisan teks tafsir (lughawi).
Dari segi muatan sosial dan aspek personal Quthb, saya menilai karya ini dipengaruhi kehidupan pribadi Quthb di mana ia dipenjara karena melontarkan gagasan-gagasannya kepada pemerintahan. Di dalam penjara pula Quthb menulis karya ini, sehingga terkesan antipati terhadap pemerintah Mesir yang saat itu antikritik. Jika dikontekskan dalam kehidupan di luar Mesir, maka saya kira tafsir ini perlu dikaji lebih mendalam karena sebagaimana para ulama mengatakan bahwa pemikiran Sayyid Quthb inilah yang memicu radikalisme melawan pemerintah mendirikan Negara Islam secara menyeluruh. Misalnya kita jumpai pembahasan Quthb tentang bagaimana seorang Islam harus berislam secara penuh meski dalam konteks kenegaraan. Sehingga seringkali tafsir Fi Zhilalil Qur’an dimaknai sebagai benih ideologi radikal. Atau kita bisa rasakan bahwa tafsir ini sangat anti dengan modernisasi barat, dan mengatakan barat adalah jahiliah modern. Inilah rasanya bagi saya sehingga saya mengkritik bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an sangat dipengaruhi psikologi, pribadi, kondisi sosial kemasyarakatan Mesir pada waktu itu, sehingga nilai-nilai universal Al-Qur’an tidak tampak dalam tafsir ini. Meskipun demikian, Fi Zhilalil Qur’an merupakan karya monumental yang memiliki perjalanan besar dalam penciptaannya oleh Sayyid Quthb.
III.    KESIMPULAN
Kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb merupakan sebuah tafsir yang memiliki bentuk tafsir bil ra’yi karena melandaskan pada argumen pribadi, dengan metode maudhu’i karena menghimpun ayat Al-Qur’an untuk membahas permasalahan yang tematik, dan dengan corak ijtima’i karena memiliki substansi tafsir yang berisi permasalahan sosial kemasyarakatan, bukan membahas fiqh, filsafat, atau ilmu pengetahuan.
IV.    KEPUSTAKAAN
Ditulis dari Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 1-13 karya Sayyid Quthb

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel