Ushul Fiqh: Qawa’id Ushuliyah at-Tasyri’iyyah
Kaidah-kaidah ini digunakan sebagai cara untuk memperoleh hukum dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari’ahnya. Dalam pandangan asy-Syatibi, maqashid as-syari’ah ini dibagi dalam tiga kelompok atau tingkatan, yaitu dharuriyah (yang jika diabaikan maka akan mendatangkan kerusakan/mafsadat), hajiyat (jika diabaikan tidak mendatangkan kerusakan, tetapi kesulitan/ tsafaqah), dan tahsiniyat (komplemen dari dua tingkatan sebelumnya).
Sebagaimana telah sedikit disinggung, dalam kajian ushul fiqh
pembahasan penting biasanya menyangkut dua aspek ketika usaha-usaha
untuk menemukan hukum sesuatu dilakukan. Dua aspek itu adalah (1)
pendekatan dalam istinbath hukum, dan (2) metode ijtihad yang digunakan. Dua aspek ini merupakan sarana penting bagi para fuqaha
dalam menentukan hukum dan di sisi lain terkadang memberikan perbedaan
yang cukup signifikan terhadap hasil pemikiran antara satu faqih dengan lainnya.[38]
Dalam konteks pendekatan, Ali Hasaballah sebagaimana dikutip oleh Imam Syaukanie memaparkan terdapatnya dua pendekatan dalam istinbath, yaitu (a) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan; dan (b) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syari’ah (maqashid al-syari’ah).[39] Kaidah-kaidah kebahasaan digunakan karena menyangkut nash (teks) syari’ah, sementara pendekatan melalui maqashid al-syari’ah digunakan karena menyangkut kehendak Syar’i yang dapat diketahui melalui kajian maqashid ash-shari’ah.[40] Atau boleh disebut sebagai pertama pendekatan dengan al-qawaid al-lughawiyyah dengan mendekati sumber hukum Islam dari sisi kebahasaan dan kedua sebagai pendekatan makna atau al-qawa’id al-ma’nawiyyah dengan mendekati sumber hukum Islam dari sisi makna dan tujuan yang terkandung di balik teks.[41]
Pendekatan bahasa ini oleh al-Jabiri disinggung dalam metode bayani yang meskipun teks merupakan hal paling otoritatif namun tidak berarti nalar burhani ditiadakan. Karena itu dua pendekatan istinbath di atas tercakup dalam metode bayani ini. Dalam cara yang kedua yaitu pendekatan makna biasanya dilalui dalam beberapa tahap. Pertama, berpegang pada tujuan pokok diturunkannya sebuah teks. Pada tahap ini istinbath didasarkan pada kepentingan untuk merealisasikan lima prinsip universal (mabadi’ al-khamsah), yaitu melindungi agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-maal). Kedua, berpegang pada illah teks. Illah merupakan keadaan yang melekat pada teks sebagai dasar pijakan dari penetapan sebuah hukum. Cara ini kemudian melahirkan qiyas[42] dan istihsan.[43]
Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks sebagai sarana pendukung tercapainya tujuan pokok. Sedikit berbeda dengan istinbath yang rata-rata mencari legitimasi dalil dalam teks, tetapi ini dilakukan di luar teks (istidlal). Tahap ini melahirkan teori-teori seperti mashalih mursalah[44], ‘urf[45], dan sadd al-dzari’ah.[46] Sedangkan yang keempat berpegang pada diamnya Syari’ yang biasanya digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak ada ketetapannya dalam teks dan tidak dapat menggunakan qiyas. Tahap ini melahirkan teori seperi istishab.[47]
Mengenai penjelasan masing-masing teori akan dibahas oleh makalah-makalah berikutnya, namun pada intinya kajian ushul fiqh membangun dasar-dasar untuk menetapkan sebuah hukum. Meskipun teks dipandang sebagai bagian penting dalam kajian ushul fiqh namun tidak selamanya otoritas bertumpu pada teks sebagaimana perkembangan-perkembangan modern dalam studi-studi keislaman.
Dalam
perspektif al-Jabiri masih ada metode lain yang cukup dipegang pula
oleh umat Islam dalam menentukan sikap-sikap keislamannya. Selain bayani yang dibangun atas dasar teks masih terdapat metode burhani dan irfani. Sekalipun metode bayani paling
banyak memiliki pengikut namun metode-metode yang lain juga telah
memberikan warna menarik dalam perdebatan wacana keislaman. Epistemologi
burhani merupakan sebuah epistemologi yang dibangun dengan dasar
akal, rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Sementara itu
epistemologi irfani meletakkan pengetahuan atas dasar kasyf, tersibaknya tabir-tabir rahasia Tuhan.[48]
Dalam perkembangan modern, kajian ushul fiqh
juga mengalami perkembangan-perkembangan dalam kajiannya. Yang paling
mencolok dari perkembangan itu adalah cara untuk memahami realitas
sebagai basis dalam penentuan sebuah hukum. Misalnya Rahman menawarkan
teori Double Movement sebagai langkah strategis untuk memahami
al-Qur’an secara komprehensif dengan cara; pertama, berupaya memahami
konteks mikro dan makro pada saat al-Qur’an diturunkan dan kedua, upaya
menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam
konteks pembaca al-Qur’an era kontemporer sekarang ini.[49] Paradigma lain juga ditawarkan oleh Mahmud Muhammad Taha dengan teori naskh-nya dan Muhammad Syahrur dengan “teori batas”nya (nazhariyyah al-hudud).
Dengan demikian, kajian-kajian baru terhadap ushul fiqh sebenarnya memperkaya khazanah uhsul fiqh yang telah ada dan bukan berarti mengeliminasi teori-teori lama. Selain itu, perkembangan ushul fiqh tentu dihadirkan sebagai upaya membangun sebuah hukum yang shalih likulli zaman wa makan untuk memenuhi tujuan-tujuan syari’at.