Ushul Fiqh: Studi Komprehensif
METODOLOGI IJTIHAD DALAM PERSPEKTIF MADZHAB
Amin Muchtar
Pengertian Ijtihad
الإِجْتِهَادُ هُوَ
إِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ الإِسْتِنْبَاطِ
فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai
hukum syara’ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum
yang terkandung) pada Alquran dan sunah.
Orang-orang
yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan, seorang
mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain; (a) bersifat adil
dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya, ilmu tafsir, ushul
fiqih, dan ‘ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk meneliti dan
memahami makna-makna lafal dan maksud-maksud ungkapan dalam Alquran dan sunah.
Ruang Lingkup ijtihad
Permasalahan yang
dapat diijtihadi ialah
a) masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul
wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud
dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas).
b)
masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.
Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil
sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak
perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas
dan tegas), maka tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban
melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali
dalam firman Allah
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali. Q.s. An-Nur:2
Metode-metode Ijtihad dan
Perangkatnya
Dalam mengistinbath hukum, seorang mujtahid harus dilandasi dengan
pengetahuan tentang qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa), maqashidu
tasyri’iyyah (tujuan umum perundang-undangan), serta cara-cara menuntaskan ta’arudul
adillah (dalil-dalil yang nampak bertentangan).
Qawaid
al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Nash-nash
Alquran dan Sunah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua
nash tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan uslub-uslub
(gaya bahasa) bahasa Arab dan kaifiyat dilalah (cara penunjukkan) lafal nash
itu kepada artinya. Karena itu, para ahli ushul fikih mengarahkan penelitian
mereka terhadap uslub-uslub dan ibarah-ibarah bahasa Arab yang lazim
dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah sya’ir dan prosa. Dari penelitian ini mereka menyusun
kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash Alquran dan
Sunah secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri. Kaidah-kaidah
tersebut kemudian dikenal dengan istilah qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah
(kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).
Pada
umumnya ulama ushul fikih memulai pembahasan tentang maudhu’ (topik) ini
dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafal yang diciptakan untuk
menyatakan makna-makna tertentu.
Ulama ushul
fikih menetapkan bahwa perhubungan lafal dengan makna memiliki berbagai aspek
yang harus dibahas. Mereka membagi lafal dalam hubungannya dengan makna kepada
beberapa bagian sebagai berikut:
Pertama, ditinjau dari segi makna
yang diciptakan untuk lafal, lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
[1] al-Khash, yaitu lafal yang
diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan tertentu. Khash mencakup
lafal
(a) mutlaq (yang tidak diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam (darah)
dalam Alquran, surat al-Maidah:3.
(b) muqayyad (yang diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam masfuhan
(darah yang mengalir) dalam Alquran, surat al-An’am:145.
(c) amr (lafal yang menunjukkan makna perintah), seperti lafal aqimu
(dirikanlah) dalam Alquran, surat al-Baqarah:43
(d) nahyu (lafal yang menunjukkan makna larangan), seperti lafal la taqrabu
(jangan mendekati) dalam Alquran, surat an-Nisa:43.
[2] al-Amm, yaitu suatu lafal yang sengaja diciptakan oleh
bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan tanpa
dibatasi jumlah tertentu, seperti lafal jami’an (seluruh) pada Alquran, surat
al-Baqarah:29.
[3] al-musytarak, yaitu lafal yang memiliki makna lebih dari satu
yang berbeda-beda, seperti kata quru dalam Alquran surat al-Baqarah:228,
mempunyai arti suci dan haid.
[4] al-muawwal, yaitu …..
Kedua, ditinjau dari segi makna
yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
[1] al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau
sebenarnya. Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai
haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan yang arti haikinya secara bahasa
adalah hayawanun natiqun (binatang yang berakal). Jika pemakiannya itu sesuai
dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah, seperti lafal shalat yang
arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan
istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti
lafal dabbah yang dipakai untuk semua binatang yang berkaki empat.
[2] al-majaz, yaitu lafal yang digunakan untuk arti kiasan
(pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya lafal haqiqi, lafal majazi
terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti
majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum
dalam surat al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz
‘urfi, seperti lafal dabbah yang arti majazinya adalah setiap binatang yang melata di atas permukaan
bumi.
[3] sharih, yaitu lafal yang jelas maksudnya karena sudah
termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Seperti lafal
isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal sharih, karena jelas sekali
maksudnya.
[4] al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya karena
tidak termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan
untuk memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)
Ketiga, ditinjau dari segi kaifiyat
atau cara-cara penunjukkan lafal kepada makna menurut kehendak pembicara, maka
lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
[1] dilalah ibarah, yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang
tersurat dalam nash. Disebut pula ibaratun nash.
[2] dilalah isyarah, yaitu petunjuk yang
diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash.
[3] dilalah ad-dilalah, yaitu penunjukkan suatu lafal bahwa hukum yang
diambil dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak
disebutkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam
perbuatan tersebut. Dilalah ad-dilalah disebut pula dilalatun nash, fahwal
khitab atau lahnal khitab. Sedangkan ulama syafi’iyyah menamainya mafhum
muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan
yang disebutkan dalam nash. Misalnya kata uf dalam firman Allah
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
uf..Q.s. Al-Isra:23
Hukum yang dipahamkan dari ayat ini menurut dilalatun nash ialah larangan
menyebut uf (ah) kepada kedua orang tua. Setiap ahli bahasa mengetahui bahwa
‘illat larangan tersebut ialah karena perkataan “ah” itu menyakitkan hati kedua
orang tua. Karena itu pemikiran manusia berkembang kepada setiap perbuatan atau
perkataan yang menyakiti hati orang tua, karena illatnya adalah sama.
[4] dilalah iqtidha, yaitu penunjukkan lafal kepada sesuatu yang
tidak disebut oleh nash. Namun pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika
yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Misalnya firman
Allah
وَاسْأَلْ الْقَرْيَةَ
الَّتِي كُنَّا فِيهَا
“Dan tanyalah
negeri yang kami tadi berada di situ..” Q.s. Yusuf:82.
Ayat ini tidak
benar maknanya apabila tidak dibubuhkan lafal ahlu (penduduk) sebelum qaryah
(negeri). Dengan demikian ayat itu dapat dipahami demikian: “Dan tanyakanlah
kepada penduduk negeri..”
Di
samping berlandaskan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa) seperti
di atas, para fukaha membuat metode-metode yang dipergunakan oleh mereka dalam istinbathul
ahkam. Metode-metode yang umum dipergunakan adalah qiyas, ishtihsan,
al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘urf, syar’u man qablana,
saddu dzari’ah, dan madzhab shahabah.
A. Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena
kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang
sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan
meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan
yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan
hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu. Misalnya hukum minum bir (disebut far’un) sama dengan
hukum minum khamar (disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena
keduanya sama-sama memabukan (disebut ilat hukum). Masalah-masalah yang boleh
dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang
tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Alquran dan sunah.
Untuk menetapkan hukum dengan metode qiyas harus memenuhi
rukun dan syaratnya, yaitu
A. Rukun-rukun
qiyas.
1. Asal (yang
hendak dijadikan tempat qiyas)
2. far’un (yang
hendak diqiyaskan)
3. Hukum asal
(ketetapan yang ada pada asal).
4.
Illat ( yaitu sebab atau sifat yang sama antara asal dan far’un).
B. Syarat-syarat
qiyas
1. Asal dan hukum
asal harus ditetapkan berdasarkan Alquran dan Sunnah.
2. Asal merupakan perkara keduniaan atau dapat dipikirkan
sebab-sebabnya. Dan tidak ada qiyas dalam urusan ibadah.
3. Illat itu ma’
qulul ma’na (dapat diketahui
sebab-sebabnya).
4. Illat ditetapkan
berdasarkan syariat.
Rukun
dan syarat tersebut menunjukkan bahwa
qiyas bukan sumber hukum yang mandiri.
Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab
yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar
hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan
dalam mengistinbathkan hukum. Ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak
membatasinya, namun mereka semua akan mempergunakan qiyas apabila ada kejadian
atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Meskipun demikian ada sebagian kecil para ulama yang
tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya salah satu
aliran dari Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.
B. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Mujtahid
yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan
hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada
qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk
menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa
pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu
peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada
qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa
atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling
tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan
ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan
qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan itu dibolehkan
pula karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan
ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hanbali.
Sedangkan yang menentang istihsan dan
tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan
menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia
telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah swt."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang
dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama
ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
(1) Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang
mengharuskan pemindahan itu. Contoh
istihsan macam pertama:
[a] Menurut Madzhab
Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang
diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak
tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual
beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting
ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting
ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa
barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar
barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena
pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari
ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan
'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah
qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
[b] Menurut Madzhab
Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung
buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air
liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas
khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut
binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
(2)
Pindah dari hukum
kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam
ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu
dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat. Contoh istihsan macam
kedua
[a] Syara' melarang
seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang
yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk
seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara'
memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi
barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan,
atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian
diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian
rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli
dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
[b] Menurut hukum
kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian
seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin
walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros
itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya
terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian,
yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak jelas bahwa
karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i
dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan
terbagi kepada:
i.
Istihsan dengan
sandaran qiyas khafi;
ii.
Istihsan dengan
sandaran nash;
iii.
Istihsan dengan
sandaran 'urf; dan
iv. Istihsan dengan sandaran keadaan
darurat.
C. al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak
disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan
kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga
mashlahat yang mutlak karena tidak ada
dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara
mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan
arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi
manusia. Mujtahid
yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah
Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah
kepada dua macam, yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui
syari'ah terdiri dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut
terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c] akal
pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen tersebut
biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau
al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan
kebutuhan manusia).
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal
yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan
menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka
tidak sampai menjadikan aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan
hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun
dan tata krama dalam kehidupan.
Penempatan
masalah ini sebagai suatu sumber hukum
sekunder, menjadikan hukum Islam
itu luwes dan dapat diterapkan
pada setiap kurun waktu di segala lingkungan
sosial. Namun perlu dicatat
ruang lingkup penerapan
hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau
bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah
sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah
kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada
satupun nash (Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini
disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam
al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan
bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang
mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk
menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap
hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai
dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam
asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan
mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat
yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
Para ulama fikih
yang mendukung konsep ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1.
Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa
ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya
atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan
pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi
kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada
terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan
yang dipersamakan (ijma').
B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ah terdiri atas dua macam, yaitu
[1] mashlahah 'ainiyah
(kepentingan perorangan) dari
setiap manusia, yang sifatnya
umum yakni yang merupakan kepentingan
setiap manusia dalam
hidupnya, seperti yang digambarkan dalam
uraian terdahulu tentang
al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait dengan
taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut
mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan,
pakaian dan tempat
tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan
dalam tuntunan Rasulullah saw. (thalab-u
'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja
mencari rizki memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Seterusnya yang menyangkut
mashlahah akal pikiran,
bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain
yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi
faridhatun 'ala kulli muslim). Begitu
seterusnya menyangkut tiap
mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan
adanya pengakuan atas mashlahah
dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi
setiap manusia.
[2] mashlahah
'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau
kepentingan umum. Ini menyangkut
hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu
kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut
kepentingan-kepentingan
(mashalih) tegaknya urusan agama
dan dunia dalam
kehidupan kita, di antaranya adalah
[a] mencegah
madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan dan
pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah
kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu
maupun kelompok sosial.
[c] mewujudkan keadilan yang sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah
usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul
Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak
ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah
terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70
orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan
Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak
dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti.
Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara'
tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan
atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat,
tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk
kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering
kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada
dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum
ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan
hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang
kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua.
Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi
ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya.
Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
D. Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada
hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang
kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah
menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada
masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang
dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu terbagai kepada
dua macam;
i.
Segala hukum yang
telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang,
kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab
merupakan salah satu produk hukum.
ii.
Menetapkan segala hukum yang ada pada masa
sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa yang lalu. Berdasarkan
pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
Contoh istishhab
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan
selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan
laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat
tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka
walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishhab.
2. Menurut firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di
bumi untukmu (manusia)."
(al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja
yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang
mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan
memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau
mengecualikannya.
Dasar hukum istishhab
Dari keterangan dan contoh-contoh di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini
sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang
berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh-contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, tentulah akan terjadi
perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan pengaburan batas
antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang halal dengan yang
haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum
yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah
merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia
hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada
yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanbali dan Madzhab Dzahiri berhujjah
dengan istishhab, hanya terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya,
seperti pernyataan Abu Zaid, salah seorang ulama Madzhab Hanafi istishhab itu
hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah
ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.
Jika diperhatikan proses terjadi atau
perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka
istishhab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat
undang-undang atau peraturan.
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah
fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum antara lain
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
"Menurut hukum asal segala sesuatu itu mubah (boleh
dikerjakan)."
الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
"Menurut hukum asal bebas dari tanggungan”
اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
"(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan
hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."
الأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
"Menurut hukum asal keadaan semula berlaku atas
keadaan yang sekarang”
Ialah menjadikan
hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa istishhab itu bukan untuk menetapkan suatu hukum yang
baru, tetapi melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan bukan untuk
menetapkan yang belum ada.
E. ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat
disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di
kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan
pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah
pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang
dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada
salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli
dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi
adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka
salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara
ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan
tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa
atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas
dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf
bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau
beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang
baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula.
Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak
tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan
suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf,
masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan
memandangnya baik.
Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih
(tidak bertentangan dengan syara') dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama
Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat
dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama
Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan
qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda
pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau
berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu
berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid (tidak bertentangan dengan syara')
tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Dari ‘urf itu dibuat kaidah-kaidah
fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum antara lain:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai
hukum."
تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ
الأَزْمِنَةِ
" perubahan hukum (berhuhungan)
dengan perubahan masa."
F. Syar’un Man Qablana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana ialah syari'at yang dibawa para
rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad saw.
yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti
syari'at Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Daud as, Nabi Isa as, dan
sebagainya.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan
Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang
diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman
Allah SWT:
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى
بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ...
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian
(urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu
dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu
tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya…" Q.s. asy-Syûra: 13
Diantara asas yang sama itu ialah yang
berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan
qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya
atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan
keadaan, masa dan tempat.
Di samping ada pula syari'at umat yang
dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi
Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash
(lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.
Macam-macam Syar'un Man Qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian
dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum
kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum
kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau
menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad saw.
b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw.
c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian Alquran dan Hadis menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan
kepada kita Alquran dan Hadis, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi
Muhammad saw. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh
orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum
itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah
menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang
sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang
menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at
Nabi Muhammad saw.
G. Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa Saddudz dzarî'ah tersusun
dari dua kata, yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan
atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Sedangkan secara istilah berarti
menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan
yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz
dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan
perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf,
yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk
mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan.
Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat
dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara
langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud
dengan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Setiap sesuatu
yang dapat menyempurnakan terlaksananya kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya
wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban
mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu
bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat
mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak,
sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib
belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan.
Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara
tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar,
berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka
warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan
yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang,
tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka
perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat
membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan
hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau
jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
Dasar hukum saddudz dzarî'ah
Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah Alquran dan
hadis, yaitu
a. Firman Allah SWT:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan."
Q.s. al-An'âm: 108
Pada dasarnya mencaci berhala tidak
dilarang Allah swt, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina
berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang
musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
...وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ...
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…" Q.s. an-Nûr: 31
Wanita menghentakkan kakinya sehingga
terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan
itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka
perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju
kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad saw. bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى
الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ
كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ ...
"Perkara yang halal itu jelas, yang haram pun jelas,
dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat, yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barang siapa dapat menjauhi
syubhat, maka bersihlah agama dan kehormatannya. Dan barang siapa terjerumus di
dalam perkara syubhat dimisalkan bagaikan seorang penggembala yang mengembala
di sekitar daerah larangan yang hampir-hampir saja masuk di dalam daerah
itu." H.r. Al-Bukhari dan
Muslim
Hadis ini menerangkan bahwa mengerjakan
perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan
akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
Obyek Saddudz Dzarî'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada
kalanya:
i.
Perbuatan itu pasti
menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
ii.
Perbuatan itu besar
kemungkinan menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Bentuk pertama tidak ada persoalan dan
perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri
dilarang. Bentuk kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena
perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para
ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu mendorong orang yang
melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1.
Kemungkinan besar
perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya
perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya
perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah
(jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang
lemah).
H. Madzhab Sahabat
Semasa RasululIah saw. masih hidup semua
masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para
sahabat kepada RasululIah saw., dan RasululIah saw. memberikan jawaban dan
penyelesaiannya. Setelah RasululIah saw. meninggal dunia, maka kelompok sahabat
yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum telah berusaha sungguh-sungguh
memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai
dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan
oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti
meriwayatkan hadis. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu
dapat dijadikan hujjah atau tidak?
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua
macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat
tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak atau
belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah ra
لاَ يَمْكُثُ الحَمْلُ فىِ بَطْنِ أُمِّهِ
أَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ قَدْرَ مَا يَتَحَوَّلُ ظِلُّ المَعْزِلِ - رواه
الدارقطني -
"Kandungan
itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan)
lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." H.r. Ad-Daraquthni
b. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan
sahabat lainnya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6)
bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak
sependapat dengannya.
Sedang pendapat sahabat yang
tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat
ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, dan sebagian
Syafi'iyah, namun didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal
mendahulukannya dari hadis mursal dan hadis dha'if. As-Syaukani menganggap
pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak ada
kemestian untuk diikuti.
Ta’arudhul Adillah (dalil-dalil yang nampak
bertentangan).
Ta’arudhul
adillah ialah kontradiksi antara dua dalil secara tekstual yang sama derajatnya, dan ada
kemungkinan keduanya dapat diterima bahkan sampai diamalkan setelah melalui
proses penggabungan dan penyaringan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Para
ulama sepakat bahwa dalil-dalil yang tampak bertentangan itu harus
“diselesaikan”, sehingga hilanglah kontradisksi itu, tetapi mereka berbeda
pendapat dalam melakukan penyelesaian itu. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan
bahwa matan-matan hadis yang bertentangan, masing-masing hadis harus diamalkan.
Untuk itu, ia menekankan perlunya penggunaan metode istitsna (pengecualian
atau exception) dalam penyelesaian itu (Lihat, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam
Ibnu Hazm, juz II, h. 151-165) Syihabud Din al-Qarafi (w. 684 H) menempuh
cara at-tarjih (penelitian untuk mencari yang memiliki argumen yang
terkuat). Dengan cara al-tarjih itu, mungkin penyelesaian yang
dihasilkan berupa penerapan al-nasikh wa al-mansukh (yakni hadis yang
satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-Jam’u (yakni
mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sehingga sama-sama
diamalkan dengan melihat aspek atau segi masing-masing). (Lihat, Syarh
Tanqih al-Fushul, hal. 420-425) Berbeda dengan kedua ulama di atas,
as-Syafi’i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak
bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal)
dan yang satunya bersifat rinci (mufassar); mungkin yang satu bersifat ‘amm
(umum) dan yang lainnya bersifat khass (khusus); mungkin yang satu
sebagai pengahapus (an-nasikh) dan yang lainnya sebagai yang dihapus
(al-mansukh); atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan
(Lihat, Kitab Ikhtilaf al-Hadits, h. 598-599) Dalam menyelesaikan
matan-matan hadis seperti ini Imam al-Syafi’i menempuh cara al-jam’u,
lalu al-nasikh wa al-mansukh, kemudian al-tarjih (Lihat, Qawa’id
fi Ulm al-Hadits, h. 288 dan seterusnya) Shalahud Din Ahmad al-Adhabi menempuh
cara al-jam’u, kemudian al-tarjih (Lihat, Manhajun Naqdil
Matni, h. 273 ) Ibnu al-Shalah (w. 643H), al-Harawi (w. 837 H), dan lain-lain menempuh cara (1) al-jam’u;
(2) al-nasikh wa al-mansukh; dan (3) al-tarjih (Lihat, Muqaddimah
Ibnis Shalah, h. 257-258 dan Jawahir al-Ushul, h. 40) Muhammad Adib
Shalih menempuh cara (1) al-jam’u; (2) al-tarjih kemudian (3) al-nasikh
wa al-mansukh (Lihat, Lamahat fi Ushulil Hadits, h. 80-81) Ibnu Hajar dan
lain-lain menempuh empat tahap, yakni, (1) al-jam’u; (2) al-nasikh wa
al-mansukh; (3) al-tarjih; dan (4) al-tawaqquf (menunggu sampai
ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya)
(Lihat, Nuzhatun Nazahr, h. 24-25).
tampaknya
tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan Ibnu Hajar lebih akomodatif.
Dinyatakan demikian karena dalam praktik penelitian matan, keempat tahap atau
cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan
relevan. Adapun penjelasan berikut contoh penggunaan istilah-istilah di atas
adalah sebagai berikut:
A.
al-Jam’u
adalah metode penelitian untuk mengkompromikan atau
menghimpun hadis-hadis yang tampak bertentangan sehingga semuanya dapat
dipergunakan karena sebenarnya tidak bertentangan setelah didudukkan sesuai
dengan maksud masing-masing. Contoh, di dalam riwayat al-Bukhari diterangkan
…ثُمَّ
قَالَ لَهُ كَمِ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَرْبَعًا …
…Kemudian ia (Urwah) bertanya kepadanya (Ibnu Umar), “Berapa
kali Nabi umrah?” Ia menjawab, “Empat kali…”
Sedangkan
dalam riwayat Ahmad, Abdullah bin Amr menerangkan
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ ثَلَاثَ
عُمَرٍ
“Sesungguhnya Nabi saw. umrah tiga kali”.
Keterangan
Ibnu Umar dan Abdullah bin Amr tampaknya seperti bertentangan, namun setelah
dikaji secara cermat ternyata keterangan keduanya tidak bertentangan, karena
empat kali umrah yang dimaksud oleh Ibnu Umar adalah tiga kali di bulan
Dzulqa’dah, dan satu kali di bulan Dzulhijjah pada waji wadha (haji qiran).
Sedangkan tiga kali umrah yang dimaksud oleh Abdullah bin Amr hanya pada bulan
Dzulqa’dah
B.
an-Nasakh adalah penelitian untuk mengetahui tarikh wurudil hadits (waktu
datangnya hadis-hadis yang tampak bertentangan itu). Apabila diketahui, maka
yang dipergunakan adalah hadis yang terakhir datangnya, dan hadis ini disebut
sebagai nasikh (yang menghapus). Sedangkan hadis yang terlebih dahulu datangnya
tidak dipergunakan, dan hadis ini disebut mansukh (yang dihapus).Contoh, dalam
riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah, Rafi’ bin Khadij menerangkan
bahwa Nabi bersabda:
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
“Yang membekam dan yang
dibekam batal shaumnya”
Namun dalam riwayat
al-Bukhari Ibnu Abas menerangkan bahwa Nabi saw. pernah berbekam dalam keadaan
shaum. Berdasarkan tarikh, hadis Rafi’ disabdakan pada tahun 8 H. sedangkan amaliah
Nabi pada hadis Ibnu Abbas dilakukan pada tahun 10 H.
C. at-tarjih adalah penelitian untuk
mencari mana yang memiliki argumen terkuat di antara hadis-hadis yang tampak
bertentangan itu dilihat dari berbagai aspek, antara lain jumlah orang yang
menyampaikan hadis itu lebih banyak. Contoh, hadis tentang doa setelah adzan
dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya tanpa kalimat innaka la tukhliful mi’ad. Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi diterangkan adanya
kalimat itu. Dilihat dari jumlah rawi yang menyampaikannya maka yang
dipergunakan adalah riwayat al-Bukhari tanpa kalimat innaka la tukhliful mi’ad.
Apabila
ketiga cara di atas tidak dapat dilakukan, maka diambil cara terakhir, yaitu at-tawaqquf.
Artinya hadis-hadis yang bertentangan itu didiamkan sementara waktu hingga ditemukan maksud yang lebih tepat dari
hadis-hadis itu. Namun sampai hari ini belum ditemukan contoh hadis-hadis yang
ditawaqqufkan.
Berbagai
metode yang dipergunakan oleh ulama di atas pada dasarnya guna mengantisipasi
kesalahan dalam pengamatan dan pemahaman terhadap dalil-dalil yang tampak
kontradiktif itu, karena tidak mungkin
hadis Nabi bertentangan dengan hadis Nabi ataupun dalil-dalil Alquran, sebab
apa yang dikemukakan oleh Nabi, baik berupa hadis maupun ayat Alquran sama-sama
berasal dari Allah (lihat, misalnya Q.s. al-Najm/53:3-4).
MARAJI’ (REFERENSI)
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar
Baru. 1990.
_________ Perbandingan Madzhab.
Bandung, Sinar Baru. 1990
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.
__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr.
t.t.
Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar
al-Kutub al-Arabi, 1404 H.
Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo,
Dar al-Hadits, 1404 H
Al-Qaththan, Mana’ khalil. Mabahits fi ‘Ulumil Quran. Mansyurat
Al-Ashr Al-Arabi. 1973
A. Qadir Hasan, Ushul Fiqih. Bangil, Yayasan al-Muslimun, 1992.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafawatu Tafasir, Beirut, Dar El-Fikr,
t.t.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
Beirut, Dar el-Fikr, t.t.
Ath-Thahan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Surabaya, Syirkah
Bengkulu Indah, t.t.
Az-Zuhaili, Dr. Wuhbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut, Dar El-Fikr,
1986
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. Tafsir al-Quranul ‘Azhim. Beirut, Dar
El-Ma’rifah, 1992
Itr, Nuruddin, Dr. Manhajun Naqd fi ‘Ulumil Hadits. Beirut, Dar
El-Fikr, 1981
Khalaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul
Fiqh. Mesir, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1968
Kurkhi, A. Zakariya. Al-Hidayah. Garut, Pesantren Persis Garut, 1408
H
Syamsul Haq, Abu
Thayyib Muhammad. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut, Dar
El-Kutub El-Ilmiyyah, 1995.
Yahya, Mukhtar,
Prof. Dr. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung, al-Ma’arif, 1996.
Zaidan, Abdul
Karim, Prof. Dr. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Baghdad, Nasyr Ihsan, t.t.
BUKU-BUKU YANG
PERLU DIBAWA KE GORONTALO
1.
Risalah Shalat Dewan Hisbah
2.
Risalah Shaum Dewan Hisbah
3.
Risalah Haji Dewan Hisbah