Fiqh Muamalah (wadi'ah, wakalah, kafalah)
I. PENDAHULUAN
Krisis global yang menghantam perekonomian nasional, ternyata tidak membuat lembaga keuangan syariah menurun yang justru semakin diminati masyarakat. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, rata-rata pertumbuhan penyerapan pegawai bank syariah per tahun 22,8 persen. Jumlah kantor bank syariah pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1430 dengan 16.516 pegawai. Kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) yang mengerti mengenai sistem keuangan syariah sangat terbuka lebar. Begitu pesatnya permintaan masyarakat terhadap layanan syariah sudah sepatutnya kita sebagai generasi sumber daya manusia harus siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan kita hadapi dalam problematika syariah di masyarakat, terutama dalam bidang muamalah.
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, salah tiga diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-Kafalah.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Al-Wadi’ah
a. Pengertian al-wadi’ah
b. Landasan hukum
c. Rukun dan syarat
d. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)
2. Al-Wakalah
a. Pengertian al-wakalah
b. Landasan hukum
c. Rukun dan syarat
3. Al-Kafalah
a. Pengertian al-kafalah
b. Landasan hukum
c. Rukun
d. Jenis al-kafalah
III. PEMBAHASAN
A. Al-Wadi’ah
1. Pengertian al-Wadi’ah
Dalam fiqih, prinsip titipan atau simpanan disebut dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah bisa diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
ان الله ياء مركم ان تؤ دوا الاء منت الى اهلها
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya…” (an-Nisaa’: 58)
فاء امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن امنته وليتق الله ربه
“…jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (al-Baqarah: 283)
b. Al-Hadits
عن ابي هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم اد الا ما نة الى من ائتمنك ولا تخن من خا نك
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud, menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan menurut Imam Hakim mengkategorikannya sahih).
c. Ijma
Tokoh-tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan konsensus atau lebih lumrah kita kenal sebagai ijma. Ijma tersebut adalah diantaranya legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.
Bahwa pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah). Artinya, ia tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadits, “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Namun dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut tetapi menggunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian menggunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggungjawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut. Mudahnya dalam suatu skema timbal balik al-wadi’ah yad al-amanah, nasabah (muaddi’ atau penitip) menitipkan barang bank (mustawda’ atau penyimpan) yang kemudian biaya penitipan dibebankan kepada nasabah.
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tatapi harus benar-benar menjaganya. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
3. Rukun dan syarat
Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset berkata, “Aku titipkan barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang yang melakukan kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah, mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Menurut jumhur ulama’ rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang berakad meliputi penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan sighat (ijab qabul). Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad wadi’ah) adalah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil meskipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan harus jelas, dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.
4. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)
Mendasarkan pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan giro (current account) dan tabungan berjangka (saving account).
Konsekuensi dari yad adh-dhamamah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Meskipun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau presentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberikannya unta kurban berumur sekitar dua tahun. Setelah beberapa waktu, Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie bertanya kepada Rasullullah saw., “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” Dari hadits tersebut, bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya pemicu semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Sekarang ini banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan redaksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan presentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.
Nasabah menitipkan dana kepada bank atau penyimpan lalu nasabah diberi bonus. Di lain pihak, titipan dana dimanfaatkan untuk dunia usaha (user of fund) dimana dunia usaha akan memberikan bagi hasil kepada bank. Sehingga ada timbal balik dalam siklus perbankan yang saling menguntungkan antara nasabah, bank, dan peminjam modal modal (user of fund).
B. Al-Wakalah
1. Pengertian al-wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
2. Landasan hukum
Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
a. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
قا ل اجعلنى على خزا ئن الاء رض انى حفيظ عليم
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
b. Al-Hadits
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث اب رافع ورجلا من الا نصار فزو جاه ميمو نة بنت الحارث
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
c. Ijma
Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk dalam kategori niabah, yaitu sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali. Hingga kini, dua pendapat itu masih terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada yang lebih baik sebagaimana dalam jual bel, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.
Dalam kehidupan perbankan, aktivitas wakalah adalah nasabah ataupun investor (muwakil) berhubungan timbal balik dengan bank (wakil) yang terikat dengan kontrak dan fee, sedangkan muwakil dimanfaatkan untuk taukil (agency, administration, payment, co arranger, dan sebaginya).
3. Syarat dan rukun
a. Rukun wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil mengetahui jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melakanakannya, maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.
b. Syarat wakalah
• seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang tidak memiliki otoritas tersebut kepada orang lain.
• Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek tetrsebut memang bisa diwakilkan kepada orang lain.
C. Al-Kafalah
1. Pengertian
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf:
قا لوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وانا به زعيم
“Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku akan menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72)
Kata za’im yang berarti penjamin dalam surah Yusuf tersebut adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
b. Al-Hadits
Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah:
ان النبي صلى الله عليه وسلم اتي بجنا زة فقال هل ترك شيئا قالوا لا قال فهل عليه دين قا لوا ثلا ثة دنا نيرقال صلوا على صا حبكم قال ابو قتادة صلى عليه يا رسول الله وعلي دينه فصلى عليه Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya, “Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab, “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari no. 2127, kitab al-Hawalah).
3. rukun
Rukun kafalah terdiri atas :
a. Sighat, bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban.
b. Makful Biih (obyek tanggungan), harus bersifat mengikat terhadap diri tertanggung dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i.
c. Kafiil (penjamin), ulama fiqih mensyaratkan seorang kafiil haruslah orang yang berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain, baligh dan berakal.
d. Makful ‘anhu (tertanggung), syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya.
e. Makful lahu, ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenai oleh kafiil guna meyakinkan pertanggung jawaban yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya.
4. Jenis Al-Kafalah
a. Kafalah bin-nafs
Adalah akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
b. Kafalah bil-maal
Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat melaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-Munjazah
Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk jaminan prestasi (performance bonds), suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.
e. Kafalah al-Muallaqah
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh industri perbankan maupun asuransi.
Dalam suatu aplikasi perbankan mengenai al-kafalah adalah bahwa yang pertama penanggung (lembaga keuangan) memberi jaminan kepada tertanggung (jasa atau obyek), sedangkan pihak ditanggung (nasabah) memberi kewajiban kepada tertanggung (jasa atau obyek).
IV. KESIMPULAN
Wadi’ah diartikan meninggalkan atau titipan, sedangkan secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong antara sesama manusia.
Wakalah adalah menjaga atau mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu. Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memposisikan orang lain sebagai pengganti dirinya (wakil) untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabalah, wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan kepada orang lain sebagai penggantinya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua yang ditanggung.
Krisis global yang menghantam perekonomian nasional, ternyata tidak membuat lembaga keuangan syariah menurun yang justru semakin diminati masyarakat. Data dari Bank Indonesia menyebutkan, rata-rata pertumbuhan penyerapan pegawai bank syariah per tahun 22,8 persen. Jumlah kantor bank syariah pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1430 dengan 16.516 pegawai. Kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) yang mengerti mengenai sistem keuangan syariah sangat terbuka lebar. Begitu pesatnya permintaan masyarakat terhadap layanan syariah sudah sepatutnya kita sebagai generasi sumber daya manusia harus siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan kita hadapi dalam problematika syariah di masyarakat, terutama dalam bidang muamalah.
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, salah tiga diantarannya adalah akad Al-Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-Kafalah.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Al-Wadi’ah
a. Pengertian al-wadi’ah
b. Landasan hukum
c. Rukun dan syarat
d. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)
2. Al-Wakalah
a. Pengertian al-wakalah
b. Landasan hukum
c. Rukun dan syarat
3. Al-Kafalah
a. Pengertian al-kafalah
b. Landasan hukum
c. Rukun
d. Jenis al-kafalah
III. PEMBAHASAN
A. Al-Wadi’ah
1. Pengertian al-Wadi’ah
Dalam fiqih, prinsip titipan atau simpanan disebut dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah bisa diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
ان الله ياء مركم ان تؤ دوا الاء منت الى اهلها
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya…” (an-Nisaa’: 58)
فاء امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن امنته وليتق الله ربه
“…jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (al-Baqarah: 283)
b. Al-Hadits
عن ابي هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم اد الا ما نة الى من ائتمنك ولا تخن من خا نك
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud, menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan menurut Imam Hakim mengkategorikannya sahih).
c. Ijma
Tokoh-tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan konsensus atau lebih lumrah kita kenal sebagai ijma. Ijma tersebut adalah diantaranya legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.
Bahwa pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah). Artinya, ia tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadits, “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Namun dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut tetapi menggunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian menggunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggungjawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut. Mudahnya dalam suatu skema timbal balik al-wadi’ah yad al-amanah, nasabah (muaddi’ atau penitip) menitipkan barang bank (mustawda’ atau penyimpan) yang kemudian biaya penitipan dibebankan kepada nasabah.
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tatapi harus benar-benar menjaganya. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
3. Rukun dan syarat
Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset berkata, “Aku titipkan barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang yang melakukan kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah, mereka tidak mensyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Menurut jumhur ulama’ rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang berakad meliputi penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan sighat (ijab qabul). Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad wadi’ah) adalah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil meskipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan harus jelas, dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.
4. Relevansinya dalam muamalah modern (aplikasi perbankan)
Mendasarkan pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan giro (current account) dan tabungan berjangka (saving account).
Konsekuensi dari yad adh-dhamamah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Meskipun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau presentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah saw. pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberikannya unta kurban berumur sekitar dua tahun. Setelah beberapa waktu, Rasulullah saw. memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie bertanya kepada Rasullullah saw., “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah saw. berkata, “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” Dari hadits tersebut, bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya pemicu semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indikator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Sekarang ini banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan redaksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan presentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.
Nasabah menitipkan dana kepada bank atau penyimpan lalu nasabah diberi bonus. Di lain pihak, titipan dana dimanfaatkan untuk dunia usaha (user of fund) dimana dunia usaha akan memberikan bagi hasil kepada bank. Sehingga ada timbal balik dalam siklus perbankan yang saling menguntungkan antara nasabah, bank, dan peminjam modal modal (user of fund).
B. Al-Wakalah
1. Pengertian al-wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut. Namun dalam hal ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
2. Landasan hukum
Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
a. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
قا ل اجعلنى على خزا ئن الاء رض انى حفيظ عليم
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
b. Al-Hadits
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث اب رافع ورجلا من الا نصار فزو جاه ميمو نة بنت الحارث
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
c. Ijma
Para ulama sepakat dengan ijma dibolehkannya wakalah, bahkan mereka cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas kebaikan dan taqwa.
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk dalam kategori niabah, yaitu sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali. Hingga kini, dua pendapat itu masih terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada yang lebih baik sebagaimana dalam jual bel, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.
Dalam kehidupan perbankan, aktivitas wakalah adalah nasabah ataupun investor (muwakil) berhubungan timbal balik dengan bank (wakil) yang terikat dengan kontrak dan fee, sedangkan muwakil dimanfaatkan untuk taukil (agency, administration, payment, co arranger, dan sebaginya).
3. Syarat dan rukun
a. Rukun wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul dari wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak harus di ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil mengetahui jenis pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melakanakannya, maka hal ini dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.
b. Syarat wakalah
• seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang tidak memiliki otoritas tersebut kepada orang lain.
• Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek tetrsebut memang bisa diwakilkan kepada orang lain.
C. Al-Kafalah
1. Pengertian
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
2. Landasan hukum
a. Al-Qur’an
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf:
قا لوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وانا به زعيم
“Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku akan menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72)
Kata za’im yang berarti penjamin dalam surah Yusuf tersebut adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
b. Al-Hadits
Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah:
ان النبي صلى الله عليه وسلم اتي بجنا زة فقال هل ترك شيئا قالوا لا قال فهل عليه دين قا لوا ثلا ثة دنا نيرقال صلوا على صا حبكم قال ابو قتادة صلى عليه يا رسول الله وعلي دينه فصلى عليه Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw. bertanya, “Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab, “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari no. 2127, kitab al-Hawalah).
3. rukun
Rukun kafalah terdiri atas :
a. Sighat, bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban.
b. Makful Biih (obyek tanggungan), harus bersifat mengikat terhadap diri tertanggung dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i.
c. Kafiil (penjamin), ulama fiqih mensyaratkan seorang kafiil haruslah orang yang berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain, baligh dan berakal.
d. Makful ‘anhu (tertanggung), syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya.
e. Makful lahu, ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenai oleh kafiil guna meyakinkan pertanggung jawaban yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya.
4. Jenis Al-Kafalah
a. Kafalah bin-nafs
Adalah akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
b. Kafalah bil-maal
Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c. Kafalah bit-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat melaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-Munjazah
Adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk jaminan prestasi (performance bonds), suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.
e. Kafalah al-Muallaqah
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh industri perbankan maupun asuransi.
Dalam suatu aplikasi perbankan mengenai al-kafalah adalah bahwa yang pertama penanggung (lembaga keuangan) memberi jaminan kepada tertanggung (jasa atau obyek), sedangkan pihak ditanggung (nasabah) memberi kewajiban kepada tertanggung (jasa atau obyek).
IV. KESIMPULAN
Wadi’ah diartikan meninggalkan atau titipan, sedangkan secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong antara sesama manusia.
Wakalah adalah menjaga atau mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu. Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memposisikan orang lain sebagai pengganti dirinya (wakil) untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabalah, wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan kepada orang lain sebagai penggantinya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua yang ditanggung.