Menyeru Instrumen Antikorupsi
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi tengah kehilangan kepercayaan dari publik akibat “ketidakbecusan” menangani pelbagai kasus korupsi (dimulai kasus Bank Century hingga Gayus), memunculkan asumsi bahwa KPK tebang pilih dalam menangani perkara. Namun, kini boleh berlega diri dengan didaulatnya pimpinan baru KPK Busyro Muqoddas yang membawa komitmen: Berantas korupsi tanpa ada kompromi!Harapan masyarakat kepada KPK tak salah. Mengapa? Terlepas dari kredibel tidaknya kepolisian dan kejaksaan, adalah bahwa sejatinya KPK tidak berada di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Posisi independen itu menempatkan KPK sebagai penegak hukum yang mempunyai “kedigdayaan absolut”, sehingga siapa pun tidak bisa intervensi, termasuk DPR dan Presiden. Itulah sebabnya mantan ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro dengan berani berjanji, “Saya tidak akan kompromi untuk hal-hal prinsip. Rakyat sekarang tersayat-sayat keadilannya mengingat banyak putusan hakim dan tuntutan jaksa yang akhir-akhir ini menurun.” (Kompas, 26/11). Apabila kita telisik bersama, keberadaan koruptor sekaliber Gayus dan kawan-kawan tak mungkin bisa berkutik jika instrumen antikorupsi yang ada di negeri ini benar-benar diimplementasikan. Pertama, peran independen KPK dalam pemerintahan. KPK bisa saja menyeret siapa pun yang terlibat korupsi. Pasalnya, wewenang KPK memberantas korupsi dipersenjatai dengan dua alat besar yaitu UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang posisi KPK, dan seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor). Dalam UU RI No 30 tahun 2002, KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, yang diatur undang-undang. Sekali lagi, bukan diatur DPR atau Presiden. Sedangkan UU Tipikor yang diatur dalam UU RI No 46 tahun 2009 sejatinya adalah sebuah ”ranjau” terhadap siapa pun yang hendak menguras harta negara. Dengan kedua alat ini, kuasa KPK sebagai ”pemburu tikus negara” akan terlindungi jika terjadi upaya pelemahan dan politik penghancuran.Mengingat kewenangan yang diberikan undang-undang begitu besar, satu pesan penulis mewakili nurani rakyat kepada KPK, ”Tegakkan independensi dan keberanian untuk tidak tebang pilih. Jangan rikuh pekewuh kepada tikus berdasi yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.”Kedua, pelibatan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan agung, serta organisasi antikorupsi. Meski mendasarkan pengalaman bahwa Polri bersama kejagung tak sepaham (bahkan saling menumbangkan) terhadap KPK, namun diharapkan ketegangan itu bisa mereda setelah ”lahirnya” pemimpin baru di tiga lembaga penegak hukum sekaligus. Adalah Timur Pradopo menggantikan Bambang Hendarso Danuri di Polri, Busyro Muqoddas menggantikan Antasari Azhar di KPK, dan Basrief Arief menggantikan Hendarman Supandji di Kejaksaan Agung.Oleh karena itu, suatu keniscayaan untuk membentuk lembaga antikorupsi ”raksasa” apabila KPK, Polri, Jaksa Agung, organisasi antikorupsi (misalnya ICW) dan masyarakat dapat berintegritas. Dengan demikian, generasi Gayus-Gayus baru akan sulit ”berkembang biak”.