Ushul Fiqh: KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH
KONSEP
MAQASHID AL-SYARI’AH
Oleh: Abdullah
A. Pendahuluan
Konsep
maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini
yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian
disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fikih
bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w.
790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal,
al-Muwwafaqat
fi Ushul al-Ahkam,
khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid.
Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di
akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi
maqashid
al-Syari’ah.
Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan
(jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu
‘Illat
(motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.1
Untuk
mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid
menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid
dharûriyât,
Maqashid
hâjiyat,
dan Maqashid
tahsînât.
Dharûriyât
artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan
menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât
maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan,
seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
Tahsiniat
artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan
najis, dan menutup aurat. Dharuriyat
beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1)
menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3)
menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh
an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal)2.
Secara substansial maqasid
al-syari'ah mengandung
kemashlahatan, baik ditinjau dari maqasid
al-syari' (tujuan
Tuhan) maupun maqasid
al-mukallaf (tujuan
Mukallaf).3
Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid
al- Syariah mengandung
empat aspek, keempat
aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini,
(1). Tujuan awal
dari Syari'
(Allah dan rasul-Nya) menetapkan syariah yaitu untuk kemashlahatan
manusia di dunia dan akhirat. (2). Penetapan syariah sebagai sesuatu
yang harus dipahami. (3).Penetapan syariah sebagai hukum taklifi
yang harus dilaksanakan. (4).Penetapan Syari’ah guna membawa
manusia ke bawah lindungan hukum yakni terhindar dari mengikuti
Hawa nafsu.
B. Pengertian Maqashid
al-Syari’ah
Secara
bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid
dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk
jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang
dikehendaki dan dimaksudkan.4
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع
تحدر الي الماء5
artinya Jalan menuju sumber
air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju
sumber kehidupan.6
Didalam Alqur’an Allah Swt
menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang
terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:
Artinya: kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
…
Artinya: Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah
agama[1340]7
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa
disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam
perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah
misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad
Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri
dalam bukunya Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan
bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam
mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim
maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.8
Setelah menjelaskan definisi
maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan
Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut
(Maqashid Syari’ah).
menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah
secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama
Usul fiqh, boleh jadi
hal
ini sudah maklum di kalangan mereka.
Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat
ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah
dan funsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab
al-Muwwafakat”:
هذه
الشريعة ....
وضعت
لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في
الدين والدنيا معا
Artinya: “Sesungguhnya
syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan)
kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut
yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi
tidak mendefinisikan Maqashid Syariah secara konfrehensif Cuma
menegaskan bahwa
doktrin Maqasid
Al Syariah adalah satu,
yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun
diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi
meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat
hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam,10
berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani
misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa
maslahat
itu bukanlah ‘illat
atau motif
(al-ba‘its)
penetapan syariat, melainkan hikmah,
hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah)
dari penerapan syariat.11
Mengapa An-Nabhani mengatakan
hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash ayat-ayat
yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah
menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan
adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat.
Misalnya firman Allah Swt dalam Alqur’an Surat Al-Isra (17) ayat
82 dan al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:
Artinya: Dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Menurut An-Nabhani,
ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil (bentuk kata yang
menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam
ta’lil.
Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad saw
adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat
(maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari
penetapan syariat.12
Dari penjelasan diatas memang
tidak ada satu ketegasan tentang definisi Maqashid Syari’ah namun
demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai
mana penulis kutip ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A
yaitu:
المقاصد
العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح
الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم
وتحسناتهم 13
Artinya: Maqashid Syari’ah
secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara
kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan
Tahsiniat mereka.
Disini penulis bisa menyimpulkan
Bahwa Maqashid Syari’ah
adalah: konsep untuk mengetahui
Hikmah14
(nilai-nilai dan
sasaran syara'
yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang
ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan
Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).
sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus
memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan
Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).
C. Syariah ditetapkan untuk
kemaslahatan Hamba didunia dan di akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa
Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia
dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan,
rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.15
Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa
semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan
hamba. Tak satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum
yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif
ma la yutaq’
(membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).16
Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka
para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam
lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan
menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah
/ Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama,
Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.17
Untuk mewujudkan dan memelihara
kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat,
الضروريات مقاصد,
حاجيات مقاصد
dan مقاصد
التحسينات .18
Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.
Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan
siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling
bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat
menempati peringkat
pertama disusul Hajiyyat
dan Tahsiniyyat.
level Dharuriat
adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi
kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat
tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia.
Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang
peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah
Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek
daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek
dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat,
dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.19
Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara
kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran
koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan
ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas
masing-masing.
(1). Memelihara Agama (حفظ
الدين)
Menjaga atau memelihara agama,
berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
- memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
- Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
(2). Memelihara jiwa (
(حفظ
النفس
Memelihara jiwa, berdasarkan
tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
- memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
- memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
(3). Memelihara Aqal (
(حفظ
العقل
Memelihara aqal, dilihat dari segi
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara aqal dalam peringkat
daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan
ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
aqal.
- Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
- Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
(4). Memelihara keturunan ((حفظ
النسل
Memelihara keturunan, ditinjau dari
segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
- memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
- memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
(5). Memelihara Harta ( (حفظ
المال
Dilihat dari segi kepentingannya,
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
- memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
- memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.20
Dari paparan diatas, dapat
dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok,
yaitu agama, jiwa, Aqal,
keturunan dan harta. Mengabaikan
hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hokum islam. Dengan
demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
D. Syari’at sesuatu yang harus
dipahami.
Aspek
ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami
sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Menurut al-Syatibi
sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan untuk memahami
Maqashid al-Syari’ah. Ketiga syarat itu adalah:
- Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab
Syarat pertama ini bertitik tolak
dari alasan bahwa Alqur’an sebagai sumber hukum diturunkan oleh
Allah Swt. Dalam bahasa Arab, dalam Alqur’an surat al-Syura ayat
192,193, 194 dan 195 disebutka:
Artinya: Dan Sesungguhnya Al
Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
Menurut al- Syatibi Alqur’an
dipaparkan dalam bahasa Arab yang tinggi dan Ma’hud (berkembang)
dalam kalangan bangsa Arab baik dari segi lafalznya maupun uslubnya,
sebagai contoh al-Syatibi menyebutkan bahwa orang-orang Arab
adakalanya menggunakan lafalz ‘am
dengan tujuan khas,
adakalanya dengan tujuan ‘am
pada satu segi dan khas pada segi yang lain.21
Berhubungan dengan pendapat
al-Syatibi diatas yang menyatakan betapa pentingnya Bahasa Arab untuk
memahami Alqur’an dan disinggungnya contoh lafalz ‘am
yang di Isti’malkan (penggunaan) oleh bangsa Arab, penulis
menganggap penting menyinggung sedikit tentang lafalz ‘am sebagai
contoh lafalz yang harus dipahami bagi siapa saja yang ingin memahami
maksud Syari’ yang terdapat dalam Alqur’an dan hadist.
Menurut istilah Ulama Ushul fiqih,
‘am
adalah “Suatu lafalz yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan
kepada suatu makna yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas
pada satu jumlah tertentu”.22
Lafalz Insan umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia.
Dilihat dari segi penerapan lafalz
‘am, ulama Usul Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu:
- Lafalz ‘am yang dikehendaki darinya adalah ‘am.23 Artinya, lafalz ‘am dan maksudnya juga ‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.
- Lafalz ‘am yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di kehendaki darinya adalah Khusus.24 ‘am dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘amnya.
- Lafalz ‘am yang mutlak, artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus.25
Imam al-Syafi’i berpendapat
bahwa dilalah lafalz ‘am
kepada satuan-satuannya adalah Zanni.26
Menurutnya dalam lafalz itu mencakup semua satuan-satuan yang tidak
jelas sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh Nash tidak dapat
diketahui sebelum ada indikasi dari Nash lain. Ayat-ayat Alqur’an
dan sunnah yang bentuk ‘am,
dilalahnya adalah Zanni.
Atas dasar inilah Imam al- Syafi’i membolehkan takshis ‘am
Alqur’an dengan hadist
Ahad.27alasannya
‘am
Alqur’an dilalahnya Zanni,
sama dengan dilalah hadist ahad. Dilihat dari segi dilalah, antara
‘am
Alqur’an dan hadist ahad adalah sejajar.28
Menurut Imam al-Syafi’i, seperti
diungkapkan oleh oleh Zaqiyuddin Sya’ban, bahwa satuan yang tinggal
setelah di taksis dilalahnya tetap zanni.
Demikian juga terhadap ‘am
yang tidak menerima taksis, dilalah satuan-satuanya tetap zanni.
Dengan demikian Imam Syafi’i membolehkan takshis Alqur’an dengan
Alqur’an, hadist dengan Hadist, dan bahkan ‘am
Alqur’an boleh
ditakshiskan dengan Hadist
ahad.29
Apabila terjadi pertentangan
antara makna khas
dan ‘am,
seperti Nash ‘am
menetapkan hukum haram
sesuatu dan Nash khas
menetapkan tidak haram
hukumnya, menurut Imam
al-Syafi’i bila
terjadi seperti itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan
masing-masing, sebab Nash
‘am dilalahnya Dhanni,
sedangkan Nash khas
dilalahnya qath’i,
keduanya tidak boleh dipertentangkan . maka Nash
‘am
yang dhanni
belum boleh diamalkan sebelum dikaji Nash
khas
yang qath’i.
dan yang kedua itulah pada akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am
itu tidak ada pentakshisnya, maka saat itu diperlukan penalaran.30
Masih banyak lagi istilah-istilah
khusus selain lafalz ‘am
yang berkaitan dengan
pembahasan lafalz
dan dilalah lafalz
yang harus diketahui Oleh seorang yang ingin memahami Maslahah
(Maqashid al- Syari’ah) yang terdapat dalam Alqur’an dan hadist,
diantaranya lafalz Khas,
Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafalz, dan Nasakh.
Yang tidak mungkin dijelaskan secara konfrehensif dalam makalah ini.
2. memiliki pengetahuan
tentang Sunnah
Imam al-Syafi’i menempatkan
Hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua dalam menggali maksud
tuhan yang terkandung dalam Alqur’an, penempatan hadis sebagai
sumber hukum yang kedua setelah Alqur’an disebut juga sebagai
Kerangka berfikir Imam al-Syafi’I, hal ini diungkapkan dalam kitab
Al-Risalah:
وجهة العلم الخبر في الكتاب
او السنة او الاجماع او القياس
Artinya: “Dan
jalan mendapatkan Ilmu adalah pernyataan dalam kitab (Alqur’an),
atau sunnah atau Ijma’ atau Qiyas”.31
Selanjutnya al-Syafi’i mengatakan
apapun hukum yang terdapat dalam hadist itu wajib diikuti, sama
halnya dengan Alqur’an, sebagaimana pernyataan beliau:
و من قبل عن
رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله
من طاعته
Artinya: “siapa saja menerima
ketentuan hokum dari Rulullah, berarti pada hakikatnya dia menerima
dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk menta’ati Rasulullah.”32
Sejalan dengan pandangan nya
tentang kokohnya kedudukan sunnah, al-Syafi’i menegaskan bahwa bila
telah ada hadist yang shahih dari rasulullah Saw, maka dalil-dalil
berupa perkataan orang lain tidak di perlukan lagi.33
Jadi, bila seseorang
telah menemukan hadits shahih, tidak ada pilihan lain kecuali
menerima dan mengikuti. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah
harus diterima apa adanya, dan tidak boleh di pertanyakan lagi,
al-Syafi’i menegaskan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana
terhadap sunnah adalah sesuatu yang keliru.34
Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang
ditetapkan oleh sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas
dan rasio, maka tidak akan pernah ada kata putus yang dapat dijadikan
sebagai patokan, dan ini akan meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri
sebagai sumber hukum.35
Sikap ta’at dan kerendahan hati
al-Syafi’i terhadap hadis bisa kita lihat dalam ungkapannya:
اذا وجدتم
كتابي خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة
رسول الله ودعوا قولي
Artinya: Bila
kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan
Sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah rasulullah dan tinggalkan
perkataan saya”.
Walaupun sunnah sebagai sumber
hukum kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati kedudukan yang
sangat penting dalam memahami Maqashid al- Syari’ah, karena
sebagian isi Alqur’an yang belum jelas harus dijelaskan dan
ditafsirkan oleh Sunnah. Pada generasi sebelum imam al-Syafi’i,
kecendrungan mendasarkan setiap keputusan kepada sunnah telah
melahirkan banyak hadits, tetapi ketentuan yang terdapat antara suatu
hadits dengan hadits yang lain sering ditemukan saling bertentangan.
Kemudian Imum al-Syafi’i
tampil dengan merumuskan suatu metode baru untuk menyelesaikan dua
hadits yang saling bertentangan. Jalan yang ditempuhnya, pertama
diusahakan dengan cara mengkompromikan keduanya, sebab boleh jadi
satu hadits mengandung aturan khusus dan hadits yang lain memuat
aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat
sanad dan perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau
perawinya lebih didahulukan dan diutamakan.36
Akan tetapi jika sunnah tersebut setingkat, dilihat mana yang datang
lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang
terdahulu di Nasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian.37
Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana yang terdahulu mana yang
terakhir, maka harus diutamakan sunnah yang lebih cocok dan sesuai
dengan Al-qur’an dan sunnah yang ada pada masalah yang lain.38
Dengan demikian Ilmu tentang
Sunnah baik teksnya maupun Asbab al-Wurudnya wajib diketahui bagi
orang- yang ingin menelusururi Maqashid al-Syari’ah. Karena Sunnah
disamping sebagai Sumber hukum Islam yang kedua juga bisa berfungsi
ganda, yaitu memperkokoh dan memperjelas ketentuan hukum yang
ditetapkan Alqur’an, dan menetapkan hukum yang tidak di tetapkan
dalam Alqur’an.
3. Mengetahui sebab-sebab
turunnya Ayat.
Manyoritas
ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam
riwayat – riwayat asbab al-Nuzul merupakan satu hal yang siknifikan
untuk memahami pesan-pesan Al-qur’an, Ibnu taimiyah menyatakan:
معرفة سبب
النزول تعين علي فهم الاية فان العلم
بالسبب يورث العلم بالمسبب
Pedoman dasar yang dipergunakan
oleh ulama dalam mengetahui asbabul nuzul adalah riwayat sahih yang
berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebabkan
pemberitahuan dari seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila
jelas maka hal itu bukan sekedar pendapat (Ra’yu), tetapi ia
mempunyai hukum Marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Saw),
al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabul
nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan para riwayat atau mendengar
langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui
sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta
bersungguh-sungguh dalam mencarinya.40
Az-Zarkani mengemukakan pentingnya
ilmu ashbab al-Nuzul dlm memahami Alqur’an, yaitu sebagai berikut:
1.
membantu dalam memahami
sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat
Alqur’an, umpamanya
dalam Alqur’an surat al-Baqarah (2) ayat 115 dinyatakan bahwa:
Artinya: dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.41
Sebagian mufassirin
mentafsirkannya, dengan melihat dhahir ayat diatas, seseorang boleh
menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya, Ia tidak
berkewajiban menghadap kiblat ketika shalat, tetapi ketika melihat
sebab turunnya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab
ayat diatas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam
perjalanan dan sedang melakukan shalat diatas kenderaan, atau
berkaitan dengan orang yang berjihat dalam menentukan arah kiblat.42
2. Mengatasi keraguan ayat yang
diduga mengandung pengertian umum, Umpamanya dalam surat al-an’am
(6) ayat 145 dikatakan:
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang
Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Menurut al-Syafi’i, pesan ayat
ini tidak bersifat umum (Hasar) untuk mengatasi kemungkinan adanya
keraguan dalam memahami ayat diatas, al-Syfi’i menggunakan as-bab
al-Nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan
orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang
telah mereka halalkan sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah
dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan- Nya
merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang-orang yahudi,
maka turunlah ayat diatas.
3.
Mengkususkan Hukum yang
terkandung dalam Alqur’an, umpamanya Surat al- Mujadalah ayat 01
dikatakan:
Artinya:
Sesungguhnya Allah telah
mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha melihat43
Berdasarkan asbab al-Nuzul ayat
diatas haramnya Zihar hanya berlaku tehadap Aus
Ibn Samit dan Isterinya
khaulah binti Hakim Ibn
Tsa’labah. Sedangkan
Hukum zhihar yang berlaku bagi selain mereka ditentukan oleh Qiyas.
Oleh karena itu minoritas ulama Usul fiqh menyimpulkan (Al-‘ibarah
bi khusus al-Sabab)
4. mengindentifikasi pelaku yang
menyebabkan turunnya ayat. contoh turunnya ayat umpamanya, Ainsyah
pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjukkan Abdurrahman
Ibn Abu bakar sebagai orang yang menyebabkan turun ayat: “ Dan
orang yang menyatakan kepada kedua orang tuanya Cis kamu berdua….(Q:S
Al-Ahkaf ayat: 17). Untuk
meluruskan persoalan, Ainsyah berkata kepada Marwan, Demi Allah,
bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk
menyebutkan orang siapa yang sebenarnya.”
5.
memudahkan untuk
menghafalz dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu kedalam
hati orang yang mendengarnya. Hal ini karena hubungan sebab akibat
(musabab) hukum, peristiwa dan pelaku, masa dan tempat merupakan satu
jalinan yang dapat mengikat hati.44
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa Maqashid
al-Syari’ah
(hikmah dari penerapan syariat) bisa ditelusuri dengan memahami
asbabul Nuzul karena memahami sebab turun ayat adalah cara terbaik
untuk memahami ma’na Alqur’an dan menyingkap kesamaran yang
tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa
mengetahui sebab Nuzulnya. Hal ini senada dengan yang diunkapkan oleh
Al-Wahidi: ‘Tidaklah
mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan
penjelasan sebab turunnya..”
Ibnu daqiqil ‘Id berpendapat bahwa “keterangan tentang sebab
Nuzul adalah cara yang kuat (tepat) untuk memahami makna Alqur’an”.45
E.
Syari’at dibebankan
kepada hamba untuk dilaksanakan
Aspek
ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Upaya
untuk mengimplementasikan Maqashid syaria’ah sangat dimungkinkan
untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. karena karakteristik dari
Syariat Islam itu sendiri sangat sempurna dan elastis, dikatakan
sempurna karena secara normative-konsepsional dan subtantif syaria’at
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tema kemanusiaan,
kehidupan jasmani dan rohani, relasi antar makhluk, dan makhluk
dengan khalik serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung
didalam ajaran-ajaran-Nya. Hubungan dengan manusia didunia, Ia
mengatur berbagai bidang baik ibadah, mua’malah, jinayat,
munakahat, maupun siasah.
Disamping dinamis hukum Islam juga
bersifat elastis,
ia tidak bersifat staqnan dan memaksa. Sehingga Ulama Ushul Fiqh
menciptakan kaedah-kaedah umum (prinsip-prinsip syari’ah) yang
bersumber dari sumber yang utama yaitu Alqur’an dan Hadist untuk
memudahkan manusia dalam menjalankan hukum yang dibebankan oleh Allah
Swt, secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua pembagian
yaitu (1).Menolak
kerusakan (دفع الضرر )
(2).Menghilangkan
kesulitan (رفع الحرج).
Kaedahah dari Hadist .
لا ضرر ولا ضررDikarenakan
kedua kaedah ini sangat
luas, maka ulama menurunkannya kepada beberapa kaedah yang lain.
Berikut ini adalah kaedah-kaedah yang berada dibawahnya:
Bagi prinsip yang pertama Menolak
kerusakan (دفع الضرر),
maka ulama menurunkan beberapa qaidah fiqih lainnya. Diantaranya:
1. الضرر
يدفع بقدر الإمكان:
Wajib menolak kerusakan sebelum ia terjadi dengan segala cara yang
memungkinkan. Contohnya: Diwajibkan melakukan jihad sebelum dianiaya
musuh; disyari’atkannya konsep syuf’ah karena menolak kemungkinan
kerusakan diantara dua orang yang berkongsi.
2. يزال
الضرر: Wajib
menghilangkan kerusakan setelah terjadi. Contohnya: Disyari’atkannya
konsep khiyâr bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyâr
terhadap barang yang memiliki aib; Begitu juga diwajibkan berubat
bagi yang sakit.
3. الضرر
لا يزال بمثله:
Tidak diperbolehkan menghilangkan sebuah kerusakan dengan
mendatangkan kerusakan yang sesamanya. Contohnya: Tidak boleh merusak
harta orang lain demi menjaga hartanya; Tidak boleh membunuh orang
lain demi menyelamatkan dirinya ketika kelaparan di hutan misalnya.
4. الأشد
يزال بالضرر الأخف الضرر:
Kerusakan yang lebih berat boleh dihilangkan dengan mendatangkan
kerusakan yang lebih ringan. Contohnya: Diperbolehkan melakukan
otopsi terhadap jasad wanita yang mati tatkala bertujuan mengeluarkan
janin yang diharapkan masih hidup.
5 يتحمل
الضرر الخاص لدفع ضرر عام :
Memikul kemudaratan yang khusus demi menolak kemudaratan yang umum.
Contohnya Diperbolehkan menahan dokter bodoh, mufti gila, karena
menolak dari terjadi bahaya yang berdampak pada masyarakat, walaupun
terpaksa membahayakan mereka
6. درء
المفاسد أولى من جلب المنافع :
Menolak kerusakan itu lebih utama daripada menarik kemanfaatan.
Contohnya: Diharamkan menjual semua jenis khamar walaupun dapat
memberi keuntungan ekonomi.
7. المحظورات
الضرورات تبيح :
Dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan melakukan perkara yang
diharamkan. Contohnya: Tidak akan mendapatkan dosa bagi orang yang
kelaparan untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan demi
berlangsung hidup.
8. الضرورات
تقدر بقدرها:
Keadaan darurat itu ditentukan dengan kadarnya. Contohnya: Tidak
diperbolehkan bagi orang yang kelaparan itu makan barang yang haram
kecuali yang diperlukan baginya untuk hidup.
9. الإضطرار
لا يبطل حق الغير:
Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain. Contohnya:
Barangsiapa yang terpaksa memakan makanan orang lain, karena menolak
dari mati, maka ia berkewajiban menganti makanan tersebut.
Bagi prinsip yang kedua,
Menghilangkan kesulitan
(رفع الحرج).
maka ulama menciptakan tiga kaedah global bagi prinsip ini.
1. المشقة
تجلب التيسير:
Kesulitan yang berlebihan yang bukan biasanya itu akan mendapatkan
keringanan. Contohnya: Musafir, sakit, paksaan, lupa dll
2. الحرج
مرفوع شرعا:
Kesulitan itu dihilangkan secara syari’at. Contohnya: Cukup hanya
dengan persangkaan (الظن),
ketika hilang pedoman untuk menentukan arah kiblat.
3. عامة
كانت أو خاصة الحاجة تنزل منزلة الضرورة
: Hajat itu dapat menduduki
tingkatan keterpaksaan sama ada ia umum atau khusus. Contohnya
Keringanan dengan diperbolehkannya melakukan akad al-salm dan
lain-lain.46
F.
Syari’at untuk
menghindarkan mukallaf dari mengikuti Hawa nafsu.
Aspek
ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap
hukum-hukum Allah Swt. Manusia diciptakan Allah SWT dengan memiliki
hawa nafsu. Hawa nafsu ini sering membuat manusia melakukan sesuatu
tanpa ada batas. Agar manusia dapat mengawal hawa nafsunya, maka
Allah SWT juga mentakdirkan manusia dengan ketetapan hukum (خطاب
الشرع).
Ketetapan hukum ini
bermacam-macam, sebagai contoh Allah SWT memerintahkan manusia
berjihad tujuannya untuk memelihara agama, Qishas untuk memelihara
jiwa, haram zina dan wajib ‘Iqab terhadap sipelaku zina berupa
rajam atau jilid untuk memelihara keturunan, dan haram minum minuman
yang memabukkan dan wajib had atas pelakunya adalah untuk memelihara
‘aqal. had sirqah atau ta’zir terhadap pencuri juga adalah untuk
memelihara harta,
Ketentuan hukum ini semua supaya
manusia dapat mengawasi nafsunya, jangan sampai melampaui batas,
ketika nafsu sudah terawasi Allah swt juga menetapkan hukumnya
melalui ritual-ritual ibadah untuk mendidik hawa nafsu seperti shalat
untuk menghindari perbuatan keji dan mungkar, puasa untuk tercapai
derajat ketakwaan dan lain sebagainya. Sebagai bukti Allah mendidik
dan tidak mengancam Nafsu manusia, Allah membolehkan berbuka puasa
bagi orang yang sakit, karena puasa bagi orang sakit akan membuat
manusia merasa kesulitan yang tidak wajarnya (المشقة
غير المعتادة).
Ini disebabkan manusia memang ditakdirkan memiliki nafsu yang
memerlukan makan, sehingga kalau tidak makan akan menyebabkan manusia
tersebut merusak dirinya (mati).
Dengan gambaran ini, setiap hukum
yang ditetapkan terhadap manusia pasti memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang biasa disebut dengan “مقاصد
الشريعة”. Dengan
tujuan-tujuan ini, manusia dapat mempertimbangkan setiap kondisi dan
situasi dalam memilih sebuah pilihan (ijtihad) akan suatu masalah
yang dihadapinya jangan mengikuti hawa nafsu.
G. Beberapa pendekatan dalam
mengetahui Maqashid al-Syari’ah
1. pendekatan tekstual
Sebagai mana telah diketahui bahwa
Alqur’an hanyalah ayat (tanda –tanda) bukan hukum, para Ahli Usul
fiqih sepakat menetapkan bahwa sebagian ayat-ayat menjadi dalil
hukum sehingga disebut dengan ayat Ahkam,
dan jumlahnya relatif sedikit. kecuali itu, ayat-ayat Ahkam hanya
memuat ajaran-ajaran pokok yang bersifat global, dan sebagian besar
berisi ketentuan-ketentuan hukum secara Ijmali.47
Al-Ghazali umpamanya, menetapkan ayat-ayat ahkam sebanyak 500 ayat.48
al-Syaukani juga menetapkan sekitar 500 ayat Ahkam, yang hanya
memuat ajaran-ajaran dasar. 49sementara
Abdul Wahab Khalaf menetapkan hanya 228 ayat. artinya, selain 228
ayat itu tidak termasuk dalam ayat-ayat Ahkam.50
Semua ayat Ahkam yang terkandung
dalam Alquran hakikat kandungan hukumnya hanya Allah yang maha
mengetahui, karena yang disebutkan dalam Alqur’an hanya masih
bersifat global, menurut Wahbah al-Zuhaili salah satu hikmahnya
adalah untuk memberi kesempatan kepada para ulama menggunakan
nalarnya dalam memecahkan problema yang menghendaki penyelesaiannya
secara hukum,51
hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Shad ayat 29:
Artinya:
ini adalah sebuah kitab
yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.
Oleh karena itu untuk memahami
kandungan hukum yang terdapat dalam Alqur’an adalah harus memahami
teks
itu sendiri. Dalam
Ontologi Ilmu Ushul Fiqh sebuah teks (baca: Nash) tidak terlepas
dari tiga unsure pokok, pertama
sang pencipta bahasa ( واضع)
kedua
sang pengguna atau peminjam bahasa (مستعمل)
dan ketiga sang pemaham/ penafsir teks (حامل).
Dalam mengalisis teks Alqur’an, kita perlu memperhatikan apakah
Allah Swt murni sebagai Wadhi’ (pencipta setiap kosa kata yang ada
dalam Alqur’an) atau hanya sebagai pengguna (Muhtamil) bahasa,
dalam hal ini Allah Swt menggunakan atau meminjam bahasa Arab karena
kitab ini diadreskan oleh Allah kepada Nabimuhamma dan kaumnya yang
berbahasa Arab.52
Dari ketiga unsur tersebut yang
awal itu hanya posisi Allah karena ada sebagian teks Alqur’an
seperti ayat Fawatihu al- Suwar (pembuka surat) menurut mufassirin
Wallahu ‘alamu
bimuradihi (hanya Allah
yang mengetahui maksudnya) sedangkan unsur yang kedua dimana Allah
Swt diposisikan sebagai peminjam bahasa sungguh teks Alqur’an bisa
dipahami oleh orang-orang yang memahami seluk beluk bahasa Arab, yang
jelas posisi manusia adalah sebagai hamil (yang menafsirkan) sebuah
teks. sehingga terjadilah perbedaan pemahaman pada sebua teks,
sebagaimana Jumhur ulama berksimpulan al-‘ibarah
bi Umum al-Lafdhi (Yang
dilihat adalah keumuman Lafalz), minoritas Ulama al-Ibarah
bi khusus sabab (Kekhususan
sebab), sedangkan al-Syatibi berkesimpulan al-Ibarah
bi Maqashid al-Syari’ah (Yang
dilihat adalah Tujuan Syari’ah).53
Menurut al-Syatibi ada beberapa
metoda yang dipergunakan dalam menganalisis sebuah teks diantaranya:
Pertama,
metode analisis terhadap lafalz perintah dan larangan. Fokus cara
ini adalah melakukan penela’ahan pada lafalz al-Amar (perintah) dan
lafalz al-Nahy (larangan) yang terdapat dalam Alqur’an dan hadist
secara jelas. Dalam konteks ini suatu perintah kata al-Syatibi harus
dipahami menghendaki suatu yang diperintahkan itu dapat diwujudkan
atau dilakukan, perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang
dikehendaki oleh Syari’(tuhan).54
Sebagai contoh dapat kitalihat dalam surat angkabut ayat 45 .
....
Artinya: Dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar.
Ayat diatas mengandung kalimat
perintah yaitu (اقم)
pandangan ulama Usul fiqh terhadap kalimat perintah yang mutla’
Hukumnya wajib (Mutla’
amar li al- wujub hakikatan).
sedangkan al-Syatibi ketegasan lafalz perintah dan larangan menjadi
tujuan primer yang sangat menentukan.55
Sedangkan sambungan ayat “shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. itu
hanya khabariah bukan suatu kewajiban, menurt al-Syatibi itu hanya
hikmah
(tujuan akhir) bukan faktor penentu untuk melaksanakan Shalat,
terhindarnya manusia dari melakukan yang keji dan mungkar seperti
dalam shalat itu merupakan tujuan sekunder, tidak menjadi faktor yang
menentukan dalam pensyari’atan Shalat. Hikmah (kemaslahatan)
tersebut akan dirasakan oleh orang-orang yang mau melaksanakan shalat
dengan benar, sebagai mana janji Allah Swt dalam kitap sucinya.
Artinya: Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (2). (yaitu) orang-orang yang
khusyu' dalam sembahyangnya.56
Kedua
metode analisis penelaahan ‘Illah al-Amar (perintah) dan al-Nahi
(larangan), dan Analisis terhadap al-Sukut’an syr’iyyah al-‘amal
ma’a qiyam al-ma’na al-Muqtadha lah (sikap diam al-Syari’ dari
pensyariatan suatu hokum)57
dan lain-lain.
2. pendekatan kontekstual
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini menawarkan bermacam-macam harapan terhadap umat
Islam, dibidang kedokteran misalnya bagi keluarga yang tidak memiliki
keturunan bisa memperoleh keturunan melalui Inseminasi buatan / bayi
tabung, sedangkan ketentuan hukum secara eksplisit tidak diketemukan
dalam Alqur’an dan hadits bahkan dalam Ijma’ para ulama, dengan
demikian permasalahan tersebut menjadi ruang ijtihad Munthabiqi,
apakah boleh umat Islam memperoleh keturunan melalui inseminasi
buatan?
Hal ini telah dijawab oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa tentang bayi tabung yang
dikeluarkan pada tanggal 29 November 1990 dalam fatwa tersebut di
tegaskan bahwa:
1. Inseminasi buatan/Bayi tabung
dengan sperma dan ovum yang diambil dari suami yang sah, dibenarkan
oleh Islam.
2. Inseminasi buatan / bayi tabung
dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami isteri untuk
isterinya yang lain hukumnya haram.
3. Inseminasi buatan / bayi tabung
dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan pasangan suami isteri
hukumnya haram.58
Menurut Frof. Dr. Asafri jaya bahwa
keputusn MUI itu tidak terlepas dari analisis Maqashid al-Syari’ah,
sedangkan sumberdasarnya juga Alqur’an dan Hadits.
H. Kesimpulan
Disini penulis bisa menyimpulkan
Bahwa Maqashid Syari’ah
adalah: konsep untuk mengetahui
Hikmah
(nilai-nilai dan
sasaran syara'
yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang
ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan
Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah).
sedangkan cara untuk tercapainya kemaslahatan tersebut manusia harus
memenuhi kebutuhan Dharuriyyat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan
Hajiyyat (sekunder), dan Tahsiniyyat atau kamaliyyat (tersier)
berdasarkan skala prioritas.
Secara substansial maqasid
al syari' mengandung
kemashlahatan, kalau
dilihat dari sudut Maqashid
Syari’ (tujuan
Tuhan) kemeslahatan itu
bisa terbagi kepada empat aspek pertama
tujuan tuhan
adalah Penetapan syariah untuk kemashlahatan manusia di dunia dan
akhirat. untuk
tercapainya kemashlahatan tersebut tidak ada pilihan lain kecuali
melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama,
jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan
hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hkum islam. Dengan
demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
Aspek kedua
tujuan Allah adalah
Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek
ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami
sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga
adalah Penetapan syariah
sebagai hukum taklifi
yang harus dilaksanakan. Aspek
ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya.
Sedangkan aspek yang terakhir adalah Penetapan
Syari’ah guna membawa manusia terhindar dari mengikuti Hawa
nafsu. Aspek ini
berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap
hukum-hukum Allah Swt.
Sedangkan untuk memahami Maqashid
Syari’ah perlu adanyanya metode ijtihad (Ijtihad
istimbathi dan Ijtihad Munthabiqi)
oleh karena itu maqashid Syariah ada keterkaitan antara Ijtihad,
keterkaitan antara Maqashid Syari’ah dengan Ijtihad adalah
keterkaitan antara tiori perumusan hukum dengan metodelogi perumusan
hukum-hukum Islam. Maqashid al-Syari’ah membicarakan persoalan
hukum pada level tioritis, sedangkan Ijtihad menyajikan prosedur dan
teknis-teknis Istimbat hukum.
Dengan demikian
bisa disimpulkan bahwa maqashid al-Syari’ah adalah merupakan sebuah
konsep yang
sangat relevan dipergunakan oleh Umat Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah hadisah yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Maqasid Syari’ah itu haruslah secara disiplin
diketahui berdasarkan nash, seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri.
bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Artinya
membelokkan makna Maqashid
al-Syari’ah
untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam
Liberal) dia mentafsirkan menjaga agama (hifzh
al-din)
sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama, dan tujuan
menjaga akal (hifzh
al-‘aql)
diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan
berpikir. Jadi, konsep maqashid al-Syari‘ah telah dijadikan sekadar
instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedia
Tematis Dunia Islam,
Jakarta, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Tahun 2002
Anwar, Rosihon, Ulumul
Qur’an,
Bandung: Pustaka Setia, 2006
Bakri, Asafri Jaya,
Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi,
Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996.
Djamil, Fathurrahman,
Filsafat
Hukum Islam,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Ghazali, Imam Abi
Hamid Muhammad bin Muhammad al-, al-mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Haramain, Imam al-,
al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh, Bairut:
Dar al-Kutub, al-Ilmiyah 1997
Mas’ud, Muhammad
Khalid, Islamic
Legal Philosophiy,
Islamabad; Islamic Research institute, 1977.
Mesra, Alimin (Ed) Cs,
Membangun
kultur Ramah perempuan,
Reinterpretasi dan Aktualisasi pesan kitab Suci, Jakarta: Restu
Ilahi, 2004
Nabhani, Taqiyuddin
al-, Asy-Syakhshiyah
al-Islâmiyyah
Ushûl al-Fiqh), Juz, Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir. 1953
Qayyim, Ibn, I’lam
al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin,
Beirut: Dar al-Jayl, t.th.
Qattan, Manna’
Khalil al-, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an,
Bogor: Pustaka Litera antar Nusa, 2001
Razi, Imam al-
al-mahshul Fi ‘Ilmi al-Ushul,
Mekah : Maktabah Nizar Mustafa al-Baaz, 1997
Syatiby, Abu Ishaq,
Ibrahim
bin Musa,
Al-,
al-Muafaqat fi Ushul al-
Syari’ah, Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.
Subqi, Tajuddin al-,
Jam’u
al- Jawami’,
Semarang: Toha putra, t.th
Syafi’i, al-,
al-Risalah,
Kairo, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th
_________ al-Umm,
Beirut: Dar al-fikri, 1990
Salam, Izzuddin Ibn
Abd al-, Qawaid
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Bairut:
Dar al-Jail, t.thn.
Syaukani, Muhammad Bin
Ali al-, Irsyad
al-Fuhul ila Tahqiq al-haq min ‘Ilmi al-Ushul, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Zahrah, Muhammad Abu,
Ushul
al-Fiqh,
Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1958
Zuhaili, Wahbah al-, Ushul Fiqh
Islamy, (Damaskus: Dar al -Fikr, tahun 1986).
Http:/Pesantren.or,id,29, master
webnet, Com/ppssnh. malang/cgi-bin/content, Cgi/
Artikel/kolom-gus/Maqashid-Syari’ah, Single. Down load 31-03-2009.
1
Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.), jilid II, h. 2-3.
2Ibid,
h. 5
3
Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al
Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu (1)
Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan,
karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya. (2).Pembahasan
dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh
juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif
harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata
dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan
kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara
menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan
ummumiyah (bisa dipahami orang awam). (3) Analisa
pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan,
kesulitan dan lain-lain. (4).Penjelasan aspek huzuz dalam
hubungannya dengan hawa dan ta'abud.
4Ahmad
Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997),
Cet, II), h. 170.
5Dikutip
oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan Ibnu
Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
6Fazlur
Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung:
Pustaka, 1994), h. 140.
7
Yang dimaksud agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman
kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta
mentaati segala perintah dan larangan-Nya.(l ihat footnote 1340
Alqur’an dan terjemahan (Jakarta: Proyek pengadaan kitab suci
Alqur’an Dep. Agama RI,1983),h. 785.
8Asafri
Jaya, Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout,
Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966),
h. 12.
9Asafri
Jaya, Konsep, h. 64. bisa dilihat lebih lanjud: Al Syatiby:
Muwwafaqat, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), Jilid I, h.21.
10
Al-Muwwâfaqât, II, h.2-3
11
Taqiyuddin An-Nabhani.. Asy-Syakhshiyah
al-Islâmiyyah. Ushûl
al-Fiqh. (Al-Quds: Min Mansyurat Hizb
at-Tahrir. 1953), Juz, III, h. 359-360).
12
Http:/Pesantren.or,id,29,masterwebnet,Com/ppssnh.malang/cgi-bin/content,Cgi/Artikel/kolom-gus/Maqashid-Syari’ah,
single. Down load 31-03-2009.
13Definisi
ini didengar dari bapak Prof, Dr. Nawir Yuslim, M.A, dalam mata
kuliah Usul fiqih Perbandingan, pada semester 2, HUKI di kampus,
IAIN, SU, pada tanggal 17-7-2009.
14
الحكمة هي المعنى المقصود
من شرع الحكم, وهي
المصلحة التي قصد الشارع بتشريع الحكم
لجلب مصلحة أو دفع مفسدة أو لهما معا.
والعلة هي الوصف الظاهر
المنضبط الذي بنى عليه الحكم وربط به
وجودا وعدما لأنها مظنة تحقيق المصلحة
المقصودة من تشريع الحكم.
والمناسبة هي رعاية
المصلحة
Artinya:
Hikmah
adalah ma’na yang dimaksud dari pensyariatan hukum, yakni
mashlahah yang menjadi maksud Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan
suatu hukum, berupa mendatangkan kemashlahatan dan menolak
kemudharatan atau menolak keduanya (Mashlahah dan mafsadah) secara
bersamaan, dan Illah
adalah suatu sifat
yang dhahir
(dapat diketahui dengan jelas) lagi mundhabid (tolak ukur) yang
memberitahu tentang ada atau tidak adanya hukum yang akan ditetapkan
berdasarkan sifat tersebut, karena sesungguhnya Illah
itu adalah indikator kepastian mashlahah yang dimaksudkan dari
pensyariatan suatu hukum. Dan munasabah
(sesuai dengan ketentuan hukum) adalah memelihara kemashlahatan.
(Http:/Pesantren.or, id, 29, master webnet, Com/ppssnh, malang/cgi
bin/ content, Cgi/ Artikel/ kolom-gus/ Maqasshid - Syari’ah,
Single, Down load, 31-03,2009.)
15Ibn
Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut:
Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3. lihat juga Izzuddin Ibn Abd
al-salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Bairut: Dar
al-Jail, t.thn), jilid II, h. 72. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, h. 1017.
16Al-
Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa
Muhammad, t.th.), h. 150. lebih lanjut tentang tujuan hukum islam
dapat dilihat dalam Fathi al-daraini, al-manahij al-Ushuliyyah fi
Ijtihadi bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, (Damsyik: Dar al-Kitab
al-Hadist, 1975), h. 28; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,
(Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), h. 366; Muhammad Khalid
Mas’ud, Islamic Legal Philosophiy, (Islamabad; Islamic
Research institute, 1977), h. 223.
17Imam
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-mustashfa min ‘Ilm
al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),h. 20
18Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi (
Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 71.
19Ibid,
h. 72
20
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama),
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.
21Asafri
Jaya, Konsep, h. 75.
22Imam
al-Razi, al-Mahshul Fi ‘Ilmi al-Ushul, (Mekah : Maktabah
Nizar Mustafa al-Baaz, 1997), jilid II,h. 460.
23
Zuhaili, Ushul, h.250
24Tajuddin
al-Subqi, Jam’u al- Jawami’, jld II, (Semarang : toha
putra, t.th), h. 4.
25Khalaf.
Ushul, h.186.
26Subki,
Jam’u, I, h. 407.
27Al-Syafi’I
al-Risalah. h. 228
28Abu
Zahrah, Imam Syafi’i, h. 340.
29Al-Razi,
al-Mahshul, h. 578
30Zakiyuddin,
Ushul al-Fiqh, h. 332
31Al-Syafi’i,
al-Risalah, (Kairo, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th),
h. 39
32
Ibbid, h. 33
33
Al-Syafi’i, al-Umm,, jilid VII, (Beirut: Dar al-fikri,
1990), h. 202
34
Ibid, jld VIII, h. 666.
35
Al-Syafi’i, al-Umm,, jilid VIII, (Beirut: Dar al-fikri,
1990), h. 667
36Al-Syafi’I,
al-Risalah, h. 216
37Al-
Haramain, al-Burhan, jld II, h. 195
38
Al-Syafi’I, al-Umm, jilid VII.., h. 201
39
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia,
2006),h. 62
40
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor:
Pustaka Litera antar Nusa, 2001), h. 107.
41
Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh
alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui
perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
42Ibid,
Anwar, h.64
43
Sebab turunnya ayat ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang
wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh
suaminya Aus ibn Shamit, Yaitu dengan mengatakan kepada isterinya:
kamu bagiku seperti punggung ibuku dengan maksud Dia tidak boleh
lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli
ibunya. menurut adat Jahiliyah kalimat Zhihar seperti itu sudah sama
dengan menthalak isteri. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada
Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada
keputusan dari Allah. dan pada riwayat yang lain Rasulullah
mengatakan: Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan Dia. lalu
Khaulah berkata: Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak kemudian
Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu
keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan
ayat-ayat berikutnya.Catatan_Ayat
44Anwar,
Ulumul, h. 66.
45Al-Qattan,
Study, h. 113.
46Http:/Pesantren.or,id,29,masterwebnet,Com/ppssnh.malang/cgi-bin/content,Cgi/Artikel/kolom-gus/Maqashid-Syari’ah,
single. Down load 31-03-2009.)
47Abu
Zahrah, Ushul Fiqh , h. 121
48Al-Ghazali,
Al-Mustasfa, Jld I, h.350
49Muhammad
Bin Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-haq min ‘Ilmi
al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 250.
50Khalaf,
Ushul Fiqh, h. 33
51Wahbah,
Ushul Fiqh, h. 440.
52
Alimin Mesra (Ed) Cs, Membangun kultur Ramah perempuan,
Reinterpretasi dan Aktualisasi pesan kitab Suci, (Jakarta: Restu
Ilahi, 2004), h. 31.
53Ibid,
h.33
54Asafri
jaya, h.92
55Asafri
jaya, Konsep, h.94
56Q.S
(al-Mu’minun ayat 1-2)
57Asafri
jaya, Konsep, h. 92 metode selanjudnya bisa dibaca dalam
dalam buku Konsep Maqashid Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi
karangan Prof. Dr. Asafri Jaya Bakri.
58Asafri
jaya, h. 163