Darurat! Indonesia Butuh Punakawan, Bagawan Penasehat Presiden
DISKUSI kebangsaan bersama Cak Nun, Gus Mus, Gus Ghofur Maimoen yang diadakan di Alun-alun Rembang untuk memperingati Hari Santri Nasional menambah wawasan baru bagi saya.
Sebetulnya bukan pengetahuan baru bagi saya. Namun, sosok punakawan yang ditampilkan dalam adegan wayang kulit oleh Ki Sigit Ariyanto yang kemudian menjadi bahan diskusi benar-benar menarik perhatian saya.
Punokawan yang selama ini dalam cerita dan kisah pewayangan diletakkan sebagai abdi, ternyata tidak. Mereka berempat adalah representasi dari ahli di masing-masing bidang yang menjadi tumpuan nasehat bagi sang raja.
Tidak hanya ahli, tetapi Semar, Gareng, Bagong dan Petruk adalah orang-orang titisan dewa yang nasehatnya harus dipatuhi raja. Jika tidak, maka keberlangsungan kerajaan dan negara akan terancam.
Sebab, mereka punya kedalaman ilmu spiritual yang sangat tinggi. Menurut saya, punakawan diceritakan sebagai titisan dewa, karena pencipta ingin menunjukkan bahwa seorang penasehat raja harus berasal dari orang-orang suci, dekat dengan Tuhan, bebas kepentingan dan tendensi.
Dengan demikian, nasehat-nasehat yang diberikan betul-betul untuk kebaikan bangsa dan negara, bukan atas dasar kepentingan dan tendensi.
Saya kemudian ingat dengan peran Walisongo. Mereka punya peran penting sebagai guru, panasehat suci yang selalu menjadi pertimbangan raja dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan.
Karena itu, orang-orang yang masuk anggota walisongo benar-benar seorang ahli, tidak hanya ahli untuk urusan dunia, tetapi juga ahli spiritual. Wali songo ikut berperan dalam menentukan arah negara.
Sejarah walisongo diperkirakan eksis pada zaman Kasultanan Demak sekitar abad ke-15. Setelah itu, sejarah Nusantara ini hampir tidak memiliki panasehat suci atau sang bagawan yang memberikan arahan kepada raja.
Dalam konteks negara Indonesia saat ini, sang bagawan atau lembaga suci yang menempati sebagai panasehat raja tidak ada. Kalau penasehat spiritual pribadi mungkin ada. Namun, keberadaannya sekadar penasehat, tetapi tidak bisa menjadi dasar transenden bagi presiden untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut nasib seluruh rakyat dari Sabang hingga Merauke.
Ingat, sang bagawan atau ahli posisinya tidak di bawah raja, tetapi bisa disejajarkan. Presiden atau raja harus punya rasa takut jika tidak menjalankan nasehat sang bagawan.
Namun, syarat sang bagawan harus benar-benar orang pilihan, suci, bebas dari kepentingan politik keduniawian. Beda dengan kondisi negara saat ini, kebijakan presiden tidak lepas dari titipan dari partai politik, tim sukses, dan sebagainya. (Semoga saja tidak, ini hanya dugaan saya saja).
Jika kondisi ini dibiarkan, maka Indonesia yang tidak memiliki sang bagawan, punakawan atau peran yang mirip walisongo, maka akan mengalami kehancuran. Indonesia darurat bagawan!
Maka, jika Indonesia ingin bangkit, harus ada peran raja atau presiden, juga ada punakawan, para ahli yang bebas dari kepentingan politis, tetapi mendasarkan nasehatnya benar-benar untuk rakyat.