Makna Aku sebagai Makhluk Allah, Hamba Allah atau Khalifah
PEMENTASAN wayang kulit di Alun-alun Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dalam rangka Hari Santri Nasional ditemani dengan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dan Kiai Kanjeng, sebelumnya bersama dengan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus. Ada pula Gus Ghofur.
Ki Sigit Ariyanto pada pertengahan Maiyahan mementaskan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Narayana melawan Kangsa Dewa. Kamu pasti tidak tahu siapa Narayana dan Kangsadewa.
Narayana dalam perspektif wayang Jawa jika dalam Hindu adalah Sri Krishna. Kangsa Dewa adalah Kamsa atau Kans yang dalam sastra Hindu dikenal sebagai paman Krishna, tapi dalam pewayangan Jawa adalah saudara tiri.
Dalam cerita wayang tersebut, Kangsa Dewa berambisi akan merebut tahta kerajaan Mandura yang saat itu dipimpin Prabu Basudewa, ayah Krishna, Balarama atau Baladewa, dan Sembadra.
Semar, tokoh punakawan memberi nasehat kepada Narayana untuk perang tanding melawan Kangsadewa dan berguru kepada Begawan Padmanaba. Ada banyak dialog antara Narayana dan Bagawan Padmanaba.
Narayana kemudian meminta agar diberi kekuatan yang bisa mengalahkan Kangsadewa. Dalam bahasa Jawanya, atos balunge, kandel kulite. Keras tulangnya, tebal kulitnya.
Namun, Sang Begawan tidak mau begitu saja memberikan senjata atau pusaka ampuh yang bisa mengalahkan Kangsa Dewa. Sebelum diberikan senjara, Narayana harus mengetahui hakikat kehidupan.
Dengan mengetahui hakikat kehidupan, maka dia akan bisa menggunakan senjata itu untuk kebajikan dan kebenaran. Dialog yang sangat menarik bagi saya adalah bagaimana Sang Begawan menjelaskan siapa diri kita sebenarnya.
Bahwa aku ada tiga. Aku sebagai makhluk Allah, aku sebagai hamba Allah dan aku sebagai khalifah Allah. Jika kita adalah makhluk Allah, artinya sama dengan tumbuhan, hewan dan semua yang ada di alam semesta.
Bila sebagai hamba Allah, kita berarti menjalankan sesuai dengan perintahnya untuk menyembah Allah. Jika aku sebagai khalifatullah, maka aku berperan sebagai utusan Allah, pengganti Allah di muka bumi.
Jika diri kita ini sudah menjadi khalifatullah, maka diri ini sudah mencapai manunggal ing kawula lan gusti. Gusti manunggal dalam diri, nyawiji.
Dengan begitu, sifat-sifat Tuhan ada dalam diri manusia. Arrahman, arrahim (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang) dan lain sebagainya. Maka setiap manusia yang masih punya sifat iri, dengki, dendam, amarah, sombong, congkak dan jahat, maka tidak ada Tuhan di dalam dirinya.
Dari sana, khalifah Allah akan membuat tentram dan damai dunia. Setelah mendapatkan pengetahuan yang cukup, Sang Begawan akhirnya memberikan senjata berupa Kembang Wijayakusuma dan Cakrabaskara kepada Narayana atau Krishna.
Dalang wayang kulit asal Rembang itu, Ki Sigit Ariyanto hendak menyampaikan pesan filosofis bahwa Narayana adalah seorang santri yang berguru pada Begawan Padmanaba. Santri harus memiliki pengetahuan tentang arti dan makna kehidupan yang sejati agar jalannya tidak tersesat.
Begawan adalah ulama, kiai atau wali dalam Islam. Santri adalah seseorang yang mencari ilmu untuk berguru. Maka, Gus Ghofur berpesan agar santri atau murid mestinya mencari ilmu kepada guru, bukan melihat megah-tidaknya bangunan, fasilitas atau teknologi dalam sekolahan.
Dari kisah lakon wayang itu pula, saya mendapatkan hikmah berharga betapa mulianya manusia jika sudah menyadari dan mengamalkan dirinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan begitu, manusia sejatinya tidak hanya sebagai makhluk Allah atau hamba Allah, tetapi juga khalifatullah yang mengemban misi perdamaian, menebar sifat-sifat Allah untuk kebaikan dan ketentraman bumi.