Materi Viktimologi
1. Pengertian Viktimologi
Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia
yang merupakan suatu kenyataan social. Viktimilogi merupakan istilah yang berasal dari bahasa
latin “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya.
Pengertian lain dari Viktimologi adalah suatu study atau pengetahuan
ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah
manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dan viktimologi merupakan
bagian dari kriminologi yang memiliki obyek study yang sama, yaitu
kejahatan atau korban kriminal
2. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban, seperti: peranan
korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan
korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system
peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi
yang bertujuan untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang
tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban
kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan”.
B. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi
Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat
diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas
mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini
merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan.
Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak
berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang
hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan
membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi.
Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan
perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah
dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai
berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan
dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul
Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan
yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk
korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat
membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai
persoalan yang melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari
kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa
viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam
kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga
tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana
dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling
melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan
hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan
dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya
kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik
sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik
merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah
kriminologi.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi
merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan
kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya
kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan
terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi
juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh
pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau
setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu
sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi
suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada
korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatan harus
memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan
orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.
Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun
bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai
korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
a. Arief Gosita
korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
b. Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar
hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan.
c. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
d. Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi,
atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak
dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
termasuk korban adalah ahli warisnya.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror
dan kekerasan pihak manapun.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat
dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau
kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan,
lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan
langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika
membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah
viktimisasi.
Tipilogi Korban Kejahatan
a. Tipilogi kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3) Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4) Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri
maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk
yaitu :
1) Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada
hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial.
Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2) Proactive victims merupakan korban yang disebabkan
peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara
bersama-sama.
3) Participacing victims hakikatnya perbuatan korban
tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya,
mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian
dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk
merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4) biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan
adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia
lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat
karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak
berdaya.
5) Socially weak victims adalah korban yang tidak
diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan
kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara
penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6) Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang
dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai
pelaku kejahatan.
7) Political victims adalah korban karena lawan
polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat
dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik
Mulyadi,2003:123-125).
c. Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1) Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3) Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4) No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai
peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa
maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut
tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan
juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam
beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik
melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya
harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang
berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang
khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih
dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh
korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau
penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional )
artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi
yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik,
mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya,
tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai
alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu
kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi
dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban
menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian
karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan
berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang
berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya
mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang
disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang
dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku
atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk
menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak
mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
5) Pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga
telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh
akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1) Compassion, respect and recognition;
2) Receive information and explanation about the progress of case;
3) Provide information;
4) Providing propef assistance;
5) Protection of privacy and physical safety;
6) Restitution and compensation;
7) To access to the mechanism of justice system.
b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari
hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis
dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan
diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya
diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang
menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan
keluarganya;
6) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
Sumber: jantukanakbetawi.wordpress.com
Makalah terkait:
1. perlindungan korban pencemaran aspek viktimologi
2. materi viktimologi
Makalah terkait:
1. perlindungan korban pencemaran aspek viktimologi
2. materi viktimologi