Pidana Pencurian Menurut Perspektif Islam
Oleh LISMANTO
Berikut saya sajikan makalah tantang pidana pencurian dalam perpekstif Islam:
I. PENDAHULUAN
Hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: ”Demi Allah, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari). Ketegasan aturan mengenai mencuri ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertikal mencuri itu juga termasuk mendzalimi Allah SWT. Hukuman potong tangan yang dipandang tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa Umar bin Khattab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri. Dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, ”Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar.” Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta’ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena diterlantarkan majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki illat. Jadi kalau pra-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.
Bahkan lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam bukunya Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh, berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam sebenarnya cenderung untuk menutupi dan memaafkan hukuman sebagaimana dikenal dalam kaidah Dar’ul Hudud bisy-syubhaat, yang artinya menolak hukuman dengan adanya syubhat. Ada sebuah hadist yang berbunyi: ”Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik dari pada salah dalam menghukum.” (HR. Hakim). Kasus pembebasan pencuri oleh Umar, menurut Qardhawi menunjukkan penerapan hal ini. Ini bukan bentuk menggugurkan hukuman tapi karena pra-kondisinya belum wajib untuk diterapkannya hukum itu. Seperti tidak wajibnya suatu perintah karena sebelum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
II. PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas
Pencurian dengan tegas dilarang oleh syara’ di dalam surat Al-Maidah ayat 38 dengan diancam hukuman potong tangan.
والسا رق والسارقة فاقطعوا ايد يهما جزاء بما كسبا نكالا من الله , والله عز يز حكم.
“Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Selain itu, terdapat dalam hadits:
وعن عائشة رضى الله عنها قل, قل رسول الله صلى الله واله وسلم, يقطع يد السا رق فى ربع دنار فصا عدا
“Dari Aisyah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda: potonglah tangan seorang yang mencuri seperempat dinar dan selebihnya.”
Akan tetapi tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan bahwa nas tersebut ditetapkan atas pencurian yang terjadi sebelum dikeluarkannya. Dengan kata lain, nas yang melarang pencurian tidak mempunyai kekuatan berlaku surut.
Dari nas-nas tersebut kita mengetahui bahwa sebagian nas ada yang tegas menyatakan tidak adanya kekuatan berlaku surut, tetapi ada juga nas lain yang tidak tegas menyatakan demikian. Perbedaan cara tersebut tidak telalu penting karenra pernyataan tentang pengampunan terhadap hal-hal yang lewat artinya apa yang telah terjadi sebelum turunnya nas-nas yang berisi larangan, dianggap sebagai nas yang umum dan berlaku sebagai aturan yang umum, meskipun terdapat tengah-tengan nas yang khusus. Oleh karena itu, pernyataan tentang pengampunan berlaku pada semua nas-nas pidana, bukan hanya pada nas-nas yang khusus dari pernyataan itu. Keterangan ini sesuai benar dengan aturan pokok dalam syari’at yang berbunyi: “Menurut syara’ tidak ada yang dibebankan (ditaklifkan) kecuali perbuatan yang mungkin terjadi disanggupi oleh mukallaf dan diketahuinya sedemikian rupa sehingga cukup membawa dia untuk mengerjakannya.
B. Ruang Lingkup
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa di dalam pengertian kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, sedangkan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Seseorang pencuri ketika meniatkan perbuatannnya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, agar demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan kata lain, tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi faktor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari faktor tersebut, syari’at Islam menetapkan hukuman potongan tangan (dan kaki), karena terpotongnya tangan atau kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama akan mengurangi usaha dan kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.
Hasil dari penetapan hukuman potong tangan tersebut terbukti di negeri Saudi Arabia di mana sesudah diterapkannya hukuman-hukuman Islam maka ketenteraman dan keamanan dapat tercapai, sedangkan sebelumnya negara tersebut menjadi contoh buruk bagi kekacauan dan ketidakamanan.
Pencuri pada hukum positif adalah dihukum dengan hukuman penjara. Hukuman ini sebenarnya tidak banyak hasilnya dalam memberantas jarimah pada umumnya dan jarimah pencurian pada khususnya, sebab hukuman tersebut tidak cukup menimbulkan faktor psikologis pada diri pembuatnya yang cukup menjauhkan nya dari jarimah tersebut. Hukuman penjara hanya bisa menjauhkan pembuat dari perbuatannya selama berada dalam penjara, sedangkan hilangnya tangan bisa menjauhkannya dari perbuatan-perbuatan jarimah sepanjang hidupnya.
Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu, hukuman tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat.
Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam. Pandangan ini kurang tepat karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukan hukuman lagi. Dalam hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman pemotongan tangan pembuat lebih ringan daripada kalau dia diletakkan dalam selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari keluarga serta sanak kelauarganya.
Kalau hukuman mati berakibat hilangnya nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedangkan hukuman mati diterima hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan harus dapat diterima kalau ia hanya berakibatnya hilangnya sebagian anggota badan. Apa yang dianggap kekejaman oleh sementara orang tidak lain adalah kekuatan dan ketegasan yang menjadi ciri khas syari’at Islam dalam soal kepidanaan sebagaimana halnya dalam bagian-bagian hukum Islam yang lain.
C. Ketetapan dan Sanksi
Jarimah tentang pencurian diatur dalam QS al-maidah: 38 sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hadis nabi mengajarkan bahwa batas pemotongan tangan adalah pada pergelangan tangan dan pada tangan kanan. Syarat atau ketetapan hukuman potong tangan atas adalah:
1.Pencurinya telah baligh, berakal sehat dan ikhtiyar. Dengan demikian anak-anak dibawah umur yang melakukan pencurian tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan tetapi walinya dapat dituntut untuk mengganti harga harta yang dicuri anak dibawah perwaliannya sedangkan sianak dapat diberi pelajaran seperlunya. Orang gila yang mencuri juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan demikian juga orang dewasa sehat akal yang melakukan pencurian atas dasar desakan ataupun daya paksa tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan khalifah Umar pernah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang melakukan pencurian pada musim penceklik karena dirasakan adanya unsur keterpaksaan.
2.Pencuri benar-benar mengambil harta orang yang tidak ada syubhat milik bagi orang tersebut. Dengan dengan demikian, jika seorang anggota suatu perseroan dagang mencuri harta milik perseorannya, ia tidak dijatuhi hukuman had potong tangan karena ia adalah orang yang ikut memiliki harta perseroan yang dicurinya. Demikian juga pegawai negeri yang melakukan korupsi terhadap harta negara sebab harta negara sebab sebagai warga negara ia dipandang ikut memiliki harta yang dicurinya, tetapi tidak berarti koruptor bebas dari ancaman pidana sama sekali. Ancaman yang dapat dijatuhkan adalah pidana ta’zir.
3.Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya, sesuai dengan harta yang dicuri. Dengan demikian, orang yang mencuri buah pohon yang tidak dipagar tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan. orang yang mencuri sepeda di halaman rumah pada malam hari juga tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan. Orang yang mencuri cincin emas yang terletak diatas meja makan juga tidak dapat dihukum had potong tangan. Namun, pencuri sapi di kandang di luar rumah memenuhi syarat dijatuhi hukuman had potong tangan sebab sapi tidak pernah dikandangkan di dalam rumah. Pencuri yang tidak memenuhi syarat hukuman had dijatuhi hukuman ta’zird.
4.Harta yang dicuri memenuhi nisab. Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman had potong tangan ialah seperempat dinar (seharga emas 1,62 gram). Dengan demikian, pencurian harta yang tidak mencapai nisab hanya dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Nisab harta curian itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi suatu waktu dan tempat. Sesuai keadaan ekonomi pada masa nabi, harta seharga seperempat dinar itu sudah cukup besar. Meskipun dapat pula dipahamkan bahwa kecenderunan untuk menetapkan nisab harta curian dalam jumlah amt kecil itu dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan pencurian yang amat merugikan ketenteraman masyarakat, jangan sampai hak milik seseorang tidak dilindungi keselamatannya.
5.Pencurian tidak terjadi karena desakan daya paksa, seperti wabah kelaparan yang orang mencuri untuk menyelamatkan jiwanya. Umar bin Khatthab pernah tidak melaksanakan hukuman had potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman ta’zir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik. Misalnya dalam masyarakat yang jarak antara kaum kaya dan kaum miskin terlalu jauh, jurang pemisah antara dua golongan itu amat dalam. di satu pihak terdapat orang kaya yang membelanjakan hartanya dengan cara bermewah-mewah, di lain pihak tersapat kaum miskin yang untuk memperoleh pekerjaan amat susah, untuk memperoleh rezeki sehari-
hari amat sukar. Dengan demikian, dapat kita peroleh kepastian bahwa pencurian yang terjadi dalam masyarakat yang belum mencerminkan keadilan sosial itu tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan hukuman had potong tangan. yang dapat dilaksanakan adalah hukuman ta’zir.
III. KESIMPULAN
Pencurian merupakan salah satu tindakan jarimah yang ditegaskan dalam syara’ yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits (asas legalitas) dimana sanksi hududnya adalah pemotongan tangan. Ada yang mengatakan bahwa sanksi pemotongan tangan yang ditetapkan adalah suatu tindakan yang kejam dan tidak manusiawi, akan tetapi hukum Islam tidak serta merta demikian, karena bisa diterapkan secara kontekstual sebagaimana yang diterapkan Umar bin Khattab.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat disajikan penulis dalam pembahasan “Jarimah Pencurian” dalam mata kuliah Fiqh Jinayah. Kritik dan saran yang membangun akan senantiasa penulis harapkan, karena dirasa masih jauh dari sempurna. Akhirnya semoga makalah ini memberi manfaat dan memperluas khasanah pengetahuan kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaenudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2010
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1990
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika. 2005
Berikut saya sajikan makalah tantang pidana pencurian dalam perpekstif Islam:
I. PENDAHULUAN
Hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: ”Demi Allah, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari). Ketegasan aturan mengenai mencuri ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertikal mencuri itu juga termasuk mendzalimi Allah SWT. Hukuman potong tangan yang dipandang tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa Umar bin Khattab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri. Dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, ”Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar.” Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta’ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena diterlantarkan majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki illat. Jadi kalau pra-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.
Bahkan lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam bukunya Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh, berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam sebenarnya cenderung untuk menutupi dan memaafkan hukuman sebagaimana dikenal dalam kaidah Dar’ul Hudud bisy-syubhaat, yang artinya menolak hukuman dengan adanya syubhat. Ada sebuah hadist yang berbunyi: ”Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik dari pada salah dalam menghukum.” (HR. Hakim). Kasus pembebasan pencuri oleh Umar, menurut Qardhawi menunjukkan penerapan hal ini. Ini bukan bentuk menggugurkan hukuman tapi karena pra-kondisinya belum wajib untuk diterapkannya hukum itu. Seperti tidak wajibnya suatu perintah karena sebelum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
II. PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas
Pencurian dengan tegas dilarang oleh syara’ di dalam surat Al-Maidah ayat 38 dengan diancam hukuman potong tangan.
والسا رق والسارقة فاقطعوا ايد يهما جزاء بما كسبا نكالا من الله , والله عز يز حكم.
“Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Selain itu, terdapat dalam hadits:
وعن عائشة رضى الله عنها قل, قل رسول الله صلى الله واله وسلم, يقطع يد السا رق فى ربع دنار فصا عدا
“Dari Aisyah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda: potonglah tangan seorang yang mencuri seperempat dinar dan selebihnya.”
Akan tetapi tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan bahwa nas tersebut ditetapkan atas pencurian yang terjadi sebelum dikeluarkannya. Dengan kata lain, nas yang melarang pencurian tidak mempunyai kekuatan berlaku surut.
Dari nas-nas tersebut kita mengetahui bahwa sebagian nas ada yang tegas menyatakan tidak adanya kekuatan berlaku surut, tetapi ada juga nas lain yang tidak tegas menyatakan demikian. Perbedaan cara tersebut tidak telalu penting karenra pernyataan tentang pengampunan terhadap hal-hal yang lewat artinya apa yang telah terjadi sebelum turunnya nas-nas yang berisi larangan, dianggap sebagai nas yang umum dan berlaku sebagai aturan yang umum, meskipun terdapat tengah-tengan nas yang khusus. Oleh karena itu, pernyataan tentang pengampunan berlaku pada semua nas-nas pidana, bukan hanya pada nas-nas yang khusus dari pernyataan itu. Keterangan ini sesuai benar dengan aturan pokok dalam syari’at yang berbunyi: “Menurut syara’ tidak ada yang dibebankan (ditaklifkan) kecuali perbuatan yang mungkin terjadi disanggupi oleh mukallaf dan diketahuinya sedemikian rupa sehingga cukup membawa dia untuk mengerjakannya.
B. Ruang Lingkup
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa di dalam pengertian kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, sedangkan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Seseorang pencuri ketika meniatkan perbuatannnya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, agar demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan kata lain, tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi faktor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari faktor tersebut, syari’at Islam menetapkan hukuman potongan tangan (dan kaki), karena terpotongnya tangan atau kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama akan mengurangi usaha dan kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.
Hasil dari penetapan hukuman potong tangan tersebut terbukti di negeri Saudi Arabia di mana sesudah diterapkannya hukuman-hukuman Islam maka ketenteraman dan keamanan dapat tercapai, sedangkan sebelumnya negara tersebut menjadi contoh buruk bagi kekacauan dan ketidakamanan.
Pencuri pada hukum positif adalah dihukum dengan hukuman penjara. Hukuman ini sebenarnya tidak banyak hasilnya dalam memberantas jarimah pada umumnya dan jarimah pencurian pada khususnya, sebab hukuman tersebut tidak cukup menimbulkan faktor psikologis pada diri pembuatnya yang cukup menjauhkan nya dari jarimah tersebut. Hukuman penjara hanya bisa menjauhkan pembuat dari perbuatannya selama berada dalam penjara, sedangkan hilangnya tangan bisa menjauhkannya dari perbuatan-perbuatan jarimah sepanjang hidupnya.
Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu, hukuman tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat.
Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam. Pandangan ini kurang tepat karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukan hukuman lagi. Dalam hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman pemotongan tangan pembuat lebih ringan daripada kalau dia diletakkan dalam selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari keluarga serta sanak kelauarganya.
Kalau hukuman mati berakibat hilangnya nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedangkan hukuman mati diterima hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan harus dapat diterima kalau ia hanya berakibatnya hilangnya sebagian anggota badan. Apa yang dianggap kekejaman oleh sementara orang tidak lain adalah kekuatan dan ketegasan yang menjadi ciri khas syari’at Islam dalam soal kepidanaan sebagaimana halnya dalam bagian-bagian hukum Islam yang lain.
C. Ketetapan dan Sanksi
Jarimah tentang pencurian diatur dalam QS al-maidah: 38 sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hadis nabi mengajarkan bahwa batas pemotongan tangan adalah pada pergelangan tangan dan pada tangan kanan. Syarat atau ketetapan hukuman potong tangan atas adalah:
1.Pencurinya telah baligh, berakal sehat dan ikhtiyar. Dengan demikian anak-anak dibawah umur yang melakukan pencurian tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan tetapi walinya dapat dituntut untuk mengganti harga harta yang dicuri anak dibawah perwaliannya sedangkan sianak dapat diberi pelajaran seperlunya. Orang gila yang mencuri juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan demikian juga orang dewasa sehat akal yang melakukan pencurian atas dasar desakan ataupun daya paksa tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan khalifah Umar pernah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang melakukan pencurian pada musim penceklik karena dirasakan adanya unsur keterpaksaan.
2.Pencuri benar-benar mengambil harta orang yang tidak ada syubhat milik bagi orang tersebut. Dengan dengan demikian, jika seorang anggota suatu perseroan dagang mencuri harta milik perseorannya, ia tidak dijatuhi hukuman had potong tangan karena ia adalah orang yang ikut memiliki harta perseroan yang dicurinya. Demikian juga pegawai negeri yang melakukan korupsi terhadap harta negara sebab harta negara sebab sebagai warga negara ia dipandang ikut memiliki harta yang dicurinya, tetapi tidak berarti koruptor bebas dari ancaman pidana sama sekali. Ancaman yang dapat dijatuhkan adalah pidana ta’zir.
3.Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya, sesuai dengan harta yang dicuri. Dengan demikian, orang yang mencuri buah pohon yang tidak dipagar tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan. orang yang mencuri sepeda di halaman rumah pada malam hari juga tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan. Orang yang mencuri cincin emas yang terletak diatas meja makan juga tidak dapat dihukum had potong tangan. Namun, pencuri sapi di kandang di luar rumah memenuhi syarat dijatuhi hukuman had potong tangan sebab sapi tidak pernah dikandangkan di dalam rumah. Pencuri yang tidak memenuhi syarat hukuman had dijatuhi hukuman ta’zird.
4.Harta yang dicuri memenuhi nisab. Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman had potong tangan ialah seperempat dinar (seharga emas 1,62 gram). Dengan demikian, pencurian harta yang tidak mencapai nisab hanya dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Nisab harta curian itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi suatu waktu dan tempat. Sesuai keadaan ekonomi pada masa nabi, harta seharga seperempat dinar itu sudah cukup besar. Meskipun dapat pula dipahamkan bahwa kecenderunan untuk menetapkan nisab harta curian dalam jumlah amt kecil itu dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan pencurian yang amat merugikan ketenteraman masyarakat, jangan sampai hak milik seseorang tidak dilindungi keselamatannya.
5.Pencurian tidak terjadi karena desakan daya paksa, seperti wabah kelaparan yang orang mencuri untuk menyelamatkan jiwanya. Umar bin Khatthab pernah tidak melaksanakan hukuman had potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman ta’zir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik. Misalnya dalam masyarakat yang jarak antara kaum kaya dan kaum miskin terlalu jauh, jurang pemisah antara dua golongan itu amat dalam. di satu pihak terdapat orang kaya yang membelanjakan hartanya dengan cara bermewah-mewah, di lain pihak tersapat kaum miskin yang untuk memperoleh pekerjaan amat susah, untuk memperoleh rezeki sehari-
hari amat sukar. Dengan demikian, dapat kita peroleh kepastian bahwa pencurian yang terjadi dalam masyarakat yang belum mencerminkan keadilan sosial itu tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan hukuman had potong tangan. yang dapat dilaksanakan adalah hukuman ta’zir.
III. KESIMPULAN
Pencurian merupakan salah satu tindakan jarimah yang ditegaskan dalam syara’ yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits (asas legalitas) dimana sanksi hududnya adalah pemotongan tangan. Ada yang mengatakan bahwa sanksi pemotongan tangan yang ditetapkan adalah suatu tindakan yang kejam dan tidak manusiawi, akan tetapi hukum Islam tidak serta merta demikian, karena bisa diterapkan secara kontekstual sebagaimana yang diterapkan Umar bin Khattab.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat disajikan penulis dalam pembahasan “Jarimah Pencurian” dalam mata kuliah Fiqh Jinayah. Kritik dan saran yang membangun akan senantiasa penulis harapkan, karena dirasa masih jauh dari sempurna. Akhirnya semoga makalah ini memberi manfaat dan memperluas khasanah pengetahuan kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaenudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2010
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1990
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika. 2005