Ushul Fiqh: Ijtihad
“Makalah
 ini dipresentasikan penulis pada 25 Juni 2012 di gedung L Fakultas 
Syariah IAIN Walisongo Semarang. Untuk mengambil materi makalah ini 
seutuhnya, silahkan melakukan izin kepada penulis (Lismanto) ke 
Lismant@gmail.com“
I. PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga
 dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in 
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode 
tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak 
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau 
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa 
dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan 
kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang,
 banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu 
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer 
seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain 
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu 
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. 
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok 
dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, 
syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika 
kehidupan yang semakin kompleks.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian ijtihad
2. Pengertian hukum dan macam-macam hukum
3. Kriteria mujtahid
4. Masalah taqlid
5. Ittiba’
6. Talfiq
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada.
 Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. 
Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala 
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan 
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan 
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang 
bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.
Sementara
 Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua 
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa
 dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam
 Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu 
terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh 
dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, 
ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali 
sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan 
bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. 
Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek 
criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman 
bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
 dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan 
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi 
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu 
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih 
tidak disebut ijtihad menurut istilah. 
Dalam
 definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh 
kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat 
(mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok 
mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
 ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu 
hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam 
yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. 
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang 
terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat 
ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di 
medannya (majalul ijtihad).
2. Pengertian hukum
Hukum
 Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga 
istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika 
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim 
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih 
tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam 
pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.
 Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas 
perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan 
aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Terkait
 tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan
 dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam 
kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul 
fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka 
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang
 dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil 
(diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam 
Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih 
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati 
jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga 
sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, 
Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan
 sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama 
selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah 
mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan
 demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
 disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah 
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam 
sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
 Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
 itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya 
menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam
 mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi Muhammad di mana 
tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah dihilangkan, 
sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh 
masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan 
diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami 
pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan 
kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut
 hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) 
sebagai sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada 
dasarnya digunakan sebagai landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a. Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh,
 Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang 
harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk 
menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah
 shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah 
Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar 
disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang 
bertugas di siang hari).
b. Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.
c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
3. Kriteria mujtahid
Seseorang
 yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid 
kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada 
yang telah disepakati, dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. 
Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a. Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an
 adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum 
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an 
secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu 
ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak 
cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana 
al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali 
memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah 
sekitar 500 ayat.
- Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui
 sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui 
al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga
 akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui 
sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk 
memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia.
Imam
 as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui 
sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak 
memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda 
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab 
turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa 
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga
 sering menimbulkan perselisihan.
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada
 dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai 
berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah 
dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
b. Mengetahui as-sunnah
Syarat
 mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang 
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang 
diriwayatkan dari Nabi SAW.
- Mengetahui ilmu diroyah hadits
Ilmu
 diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan 
hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari 
hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis 
dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat 
diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam 
menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang
 tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi 
dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
- Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui
 hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid 
jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus 
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan 
nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh 
hadis-hadis lain.
- Mengetahui asbab al-wurud hadis
Syarat
 ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab 
al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus 
hadis tersebut ada.
c. Mengetahui bahasa Arab
Seorang
 mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya 
pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan 
bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu 
diturunkan menggunakan bahasa Arab.
d. Mengetahui tempat-tempat ijma’
Bagi
 seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati 
oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang 
bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui 
nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash 
tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid 
bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya 
maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui ushul fiqh
Di
 antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, 
yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan 
kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan 
mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam 
ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal 
pengambilan ketetapan hukum.
f. Mengetahui maksud dan tujuan syariah
Sesungguhnya
 syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan 
manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, 
yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, 
akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi rukshah
 dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan 
dan akhlak yang baik).
g. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang
 mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat, 
problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal 
hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana 
interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
h. Bersifat adil dan taqwa
Hal
 ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid
 benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari 
kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
i. Adapun
 ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu 
ushuluddin, ilmu mantiq, dan mengetahui cabang-cabang fiqh.
4. Taqlid
Dalam
 bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana 
ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan 
aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah memberikan produk 
hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam lebih 
terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik,
 intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam
 dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau 
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan 
upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan 
kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan
 Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka 
sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang 
itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi 
pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut
 Ahmad saja.
Mereka
 membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. 
Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan 
imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh 
karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, 
padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, 
setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang 
membutuhkan hukum.
5. Ittiba’
Menurut
 ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang 
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata
 lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang 
dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima 
pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau
 asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. 
Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama
 berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam
 Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada 
Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. 
Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat 
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
6. Talfiq
Menurut
 istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu 
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
 Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau 
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan 
menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada
 dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan 
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar 
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih 
kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang 
ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah 
dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang 
dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad
 adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan 
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah 
ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian 
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad 
dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena 
permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan 
hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis 
ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab, 
syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.
V. PENUTUP
Demikian
 makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh bapak 
Musahadi HAM, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Pemakalah 
sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu 
pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi 
kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat 
dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1988
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal
Qardawi,Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Ramadan, Said, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971)
Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
 Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai keseluruhan hukum syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine law)
 dan fiqih yang sifatnya profan (proses ijtihad ulama fuqaha dari 
syari’at itu sendiri). Sikap ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht
 yang mengidentikkan hukum Islam (the law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi Ashshiddieqy yang mendekatkan hukum Islam dengan fiqih. Hukum Islam dalam makalah ini mencakup kedua-duanya, yakni syari’at dan fiqih.
 http://ahmadfuadhasan.blogspot.com pada 3 Maret 2012