Ushul Fiqh: Ijtihad
“Makalah
ini dipresentasikan penulis pada 25 Juni 2012 di gedung L Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang. Untuk mengambil materi makalah ini
seutuhnya, silahkan melakukan izin kepada penulis (Lismanto) ke
Lismant@gmail.com“
I. PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga
dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode
tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa
dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang,
banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer
seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok
dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula,
syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian ijtihad
2. Pengertian hukum dan macam-macam hukum
3. Kriteria mujtahid
4. Masalah taqlid
5. Ittiba’
6. Talfiq
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan.
Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang
bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.
Sementara
Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa
dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam
Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu
terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh
dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga,
ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali
sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan
bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek
criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman
bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih
tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam
definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat
(mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok
mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu
hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam
yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa.
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang
terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat
ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya (majalul ijtihad).
2. Pengertian hukum
Hukum
Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga
istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih
tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam
pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.
Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas
perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan
aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Terkait
tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan
dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam
kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul
fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang
dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil
(diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam
Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati
jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga
sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan
sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama
selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah
mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan
demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam
sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya
menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam
mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi Muhammad di mana
tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah dihilangkan,
sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh
masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan
diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami
pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan
kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut
hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah)
sebagai sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada
dasarnya digunakan sebagai landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a. Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh,
Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang
harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah
shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah
Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar
disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang
bertugas di siang hari).
b. Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.
c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
3. Kriteria mujtahid
Seseorang
yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid
kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada
yang telah disepakati, dan sebagian yang lain masih diperdebatkan.
Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a. Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an
adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an
secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu
ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak
cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana
al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali
memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
- Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui
sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui
al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga
akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk
memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia.
Imam
as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui
sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak
memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab
turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga
sering menimbulkan perselisihan.
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada
dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai
berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah
dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
b. Mengetahui as-sunnah
Syarat
mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang
diriwayatkan dari Nabi SAW.
- Mengetahui ilmu diroyah hadits
Ilmu
diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan
hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari
hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis
dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat
diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam
menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang
tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi
dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
- Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui
hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid
jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan
nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh
hadis-hadis lain.
- Mengetahui asbab al-wurud hadis
Syarat
ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab
al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus
hadis tersebut ada.
c. Mengetahui bahasa Arab
Seorang
mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya
pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan
bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu
diturunkan menggunakan bahasa Arab.
d. Mengetahui tempat-tempat ijma’
Bagi
seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati
oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui
nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash
tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid
bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya
maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui ushul fiqh
Di
antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh,
yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan
kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan
mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam
ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal
pengambilan ketetapan hukum.
f. Mengetahui maksud dan tujuan syariah
Sesungguhnya
syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan
manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat,
yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta,
akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi rukshah
dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan
dan akhlak yang baik).
g. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang
mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat,
problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal
hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana
interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
h. Bersifat adil dan taqwa
Hal
ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid
benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari
kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
i. Adapun
ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu
ushuluddin, ilmu mantiq, dan mengetahui cabang-cabang fiqh.
4. Taqlid
Dalam
bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau tindakan di mana
ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini lebih memberikan
aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah memberikan produk
hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam lebih
terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik,
intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam
dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan
upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan
kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan
Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka
sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang
itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi
pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut
Ahmad saja.
Mereka
membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu.
Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan
imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh
karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum,
padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi,
setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang
membutuhkan hukum.
5. Ittiba’
Menurut
ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata
lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’ ialah menerima
pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau
asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash.
Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam
Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada
Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
6. Talfiq
Menurut
istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan
menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada
dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih
kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang
ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah
dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang
dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad
adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah
ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad
dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena
permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan
hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis
ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah mursalah, istishab,
syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh bapak
Musahadi HAM, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Pemakalah
sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu
pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat
dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1988
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal
Qardawi,Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Ramadan, Said, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971)
Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai keseluruhan hukum syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine law)
dan fiqih yang sifatnya profan (proses ijtihad ulama fuqaha dari
syari’at itu sendiri). Sikap ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht
yang mengidentikkan hukum Islam (the law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi Ashshiddieqy yang mendekatkan hukum Islam dengan fiqih. Hukum Islam dalam makalah ini mencakup kedua-duanya, yakni syari’at dan fiqih.
http://ahmadfuadhasan.blogspot.com pada 3 Maret 2012